Posts

Showing posts from September, 2021

Perpisahan Tanpa Kata

  Sebuah pesan pendek menyergap ponsel Angga Kurnia. “Aku di Jakarta,“ pesan singkat yang membuat ia batal memasuki lift. Ia menekan tombol hijau pada nama itu. “Halo,“ suara perempuan itu terdengar mesra. “Oh, hai. Kau sampai kapan di Jakarta?“ Angga tak mampu menyembunyikan rasa gembira. Bagaimanapun, mantan kekasih selalu menimbulkan rasa yang tak dapat dijelaskan dengan logika. Sore itu seharusnya cerah. Jakarta terkadang penuh dengan kesenangan, tapi bisa saja berubah menjadi tempat terkutuk. Ketika hujan tiba-tiba mengguyur hebat, dan sukses membuat kemacetan menjadi lebih gila dari biasanya, itulah terkutuk tahap pertama. Taksi-taksi tidak menyalakan lampu biru, artinya dia sudah terisi. Itu terkutuk tahap dua. Angga mengumpat sambil membuang rokoknya yang belum sepenuhnya terisap. Ia tak mau berisiko menggunakan mobil dengan pelat nomor cantiknya. Betapapun hasratnya membuncah untuk menunjukkan pada mantan kekasih bahwa ia telah berhasil, ia tetap punya kendali atas segala kemu

Berakhir di Januari

  Bram menyingkirkan kalender duduk 2013 di meja kerjanya. Kalender baru bernuansa black and white sudah bertengger menggantikan. Resolusi…resolusi…kata itu yang selalu didengung-dengungkan di akhir tahun dan awal bulan ini. “Kalau Bram sih pasti resolusinya satu, menikah!” seru sepupunya sembari tertawa dalam pertemuan keluarga tiga hari lalu. “Apa sih Bram yang kau tunggu, kurang apa sih Kikan. Cantik, pinter, baik, pintar membawa diri, mapan. Tunggu apa lagi?” tanya buliknya. Bram hanya tersenyum. Tidak semudah itu. Resolusi. Tekad Bram sudah kuat. Kali ini dia menuliskan di daftar teratas. Menikah. Harus! Dia harus bergerak dari titik yang sekarang membuatnya jalan di tempat. Ia menimbang-nimbang sebuah cincin di tangannya. Berkali-kali ia mengajak Kikan untuk membicarakan hal itu dengan kedua keluarga, namun Kikan selalu menolak. Belum siaplah, tunggu S2-nya selesai lah, karirnya sedang menanjak lah. Sederetan alasan yang membuat hubungan mereka stag. Dan mereka tetap bertah

Tiang Listrik

  Teng!-Teng! Tubuhku dipukul dua kali. Begitu selalu. Setiap jam dua dini hari. Biasanya aku terbangun dari lelap tidur dan menyaksikan sesosok lelaki tua, petugas ronda malam kompleks perumahan menatapku puas dengan setangkai kayu ditangan kanan. Aku kembali tidur sesaat setelah melihat seulas senyum menghiasi bibir lelaki itu. Sebuah tanda. Hanya sebuah tanda bahwa lelaki tua itu baru saja lewat berpatroli disekitar lingkungan tempatku berdiri tegak. Tepat dipukul dua dini hari. Selalu begitu setiap hari selama empat tahun terakhir. Dan aku menikmati rutinitas menyakitkan itu sembari diam-diam bersyukur masih untung dipukul dua kali, bagaimana kiranya jika sampai dipukul dua belas kali? Sosok lelaki tua itu lalu beranjak pergi meninggalkanku yang masih saja berdiri tegak disitu, ditempat yang sama. Diam-diam aku mengagumi kesetiaan lelaki itu pada pekerjaannya. Konon sejak ia, yang mantan pensiunan tentara, menjadi petugas keamanan malam dilingkungan tersebut tingkat kejahatan menur

Lembayung Senja

"Lihat!!" serunya padaku. Menunjuk langit berwarna merah jingga. "Ketika matahari hampir sepenuhnya terbenam ini yang dinamakan lembayung senja, Dara!" jelasnya. Aku melirik padanya, menyunggingkan senyum termanis pada laki-laki bermata biru itu. "Indah!" "Ada filosofi dari lembayung senja ini, Ra!" "Manusia yang telah mengalami perjalanan panjang kehidupan diibaratkan matahari yang hampir terbenam." Samar-samar kalimat yang diucapkannya melintas ditelingaku. "Jangan ngawur!" Hari ini, aku kembali menginjakkan kaki di pantai ini. "Langitnya indah, bu!" serunya. "Itu namanya lembayung senja sayang" jawabku. Aku seolah mengalami de javu. Tapi tujuh tahun yang silam, kata-kata itu diucapkan oleh pangeran bermata biru. Ayah dari Rara, anakku. #flashfiction

Cinta yang Rumit

  "Jadi apa yang akan kamu lakukan?" tanya sang wanita, pada seorang lelaki di sebelahnya. Sambil menyeka air mata yang sedari tadi jatuh di pipinya. Seorang lelaki dan perempuan makan es krim stroberi berdua. Mereka duduk menatap jalanan yang sibuk. "Aku tak bisa begini terus," ujar si lelaki, mengeluh. "Apa rasa cinta di hatimu tidak cukup besar kepadaku?" sahut sang wanita dengan suara terisak. "Cintaku amat besar, tetapi aku tidak punya cukup kuasa untuk memilikimu. Dunia ini nyatanya tak menginginkan kita bersatu, kamu harus pahami hal itu. Aku pergi bukan untuk menyerah, aku akan kembali untuk memperjuangkan cintaku, cinta kita. Bersabarlah." Kalimat panjang dari suara lelaki itu mengakhiri pertemuan mereka. Lima tahun kemudian. Di sebuah apartemen bilangan Jakarta Pusat, pemiliknya seorang wanita berusia 25 tahun. Duduk memandang jendela kamar, menatap kosong entah ke arah mana. "Entah di mana kamu berada, apakah kamu masih berjuang a

Arti Nyawa Seorang Ibu Tidak Bekerja

Sore itu NiC Cafe yang berad a di Jalan Agus Salim Bekasi ini masih sepi. Para pengunjung biasanya mulai rame pada malam hari. Tempatnya tidak terlalu luas, tapi penataan tempat duduk yang tepat dan perpaduan warna serasi putih hitam yang kontras, membuat tempat ini terasa lega dan nyaman. Dalam suasana tenang itu, duduk di depanku pria yang tiga tahun lalu mengucap ijab kabul dihadapan ayahku. Suamiku menunduk tanda setelah beberapa menit lalu aku memberikannya sebuah kabar. Aku menatap kosong ke arah jam tangan hitam melingkar di tangan kirinya. Hening sekali. Andaikan saja ada sebuah jarum jatuh ke lantai maka bunyi dentingnya akan terdengar nyaring. Aku baru saja bercerita tentang sebuah kabar yang membuatnya tertegun lama. Sementara itu aku belum mampu berbicara sepatah katapun. Tanganku masih menggenggam surat berlogo sebuah Rumah Sakit swasta berwarna hijau itu. Di luar hujan rintik-rintik masih menyuarakan nyanyian tak berirama. "Sudah berapa bulan tadi kata Dokter?"

Mata Lembut Orangutan

Mata Lembut Orangutan Namaku Litha Kristin, aku akan mengisahkan tentang pekerjaanku yang unik. Aku bekerja sebagai pengasuh, tetapi bukan sembarang pengasuh, aku adalah pengasuh Orangutan. Aku akan menceritakan bagaimana awal mula mengapa sampai bisa menjadi pengasuh bagi Orangutan di Pusat Reintroduksi Orangutan Nyaru Menteng milik yayasan Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) di Jalan Cilik Riwut Km.28 Palangka Raya. Saat itu sekitar tahun 2007 usai lulus SMA, aku sempat bekerja sebagai pelayan di sebuah usaha jasa foto kopi yang berada di Palangka Raya. Namun karena bosan dan tidak ada peningkatan pengalaman. Aku pun memutuskan untuk hengkang. Dan setelah sempat menganggur beberapa saat ada orang yang menawari untuk bekerja sebagai pengasuh Orangutan. Aku sendiri belum tahu saat itu apa kerjanya, tapi kupikir ini pengalaman baru dan tak ada salahnya untuk dicoba. Setelah melalui serangkaian tes, aku pun dinyatakan lulus dan ditugaskan untuk merawat bayi Orangutan. Karena yang