Arti Nyawa Seorang Ibu Tidak Bekerja

Sore itu NiC Cafe yang berada di Jalan Agus Salim Bekasi ini masih sepi. Para pengunjung biasanya mulai rame pada malam hari.
Tempatnya tidak terlalu luas, tapi penataan tempat duduk yang tepat dan perpaduan warna serasi putih hitam yang kontras, membuat tempat ini terasa lega dan nyaman.
Dalam suasana tenang itu, duduk di depanku pria yang tiga tahun lalu mengucap ijab kabul dihadapan ayahku. Suamiku menunduk tanda setelah beberapa menit lalu aku memberikannya sebuah kabar. Aku menatap kosong ke arah jam tangan hitam melingkar di tangan kirinya.
Hening sekali. Andaikan saja ada sebuah jarum jatuh ke lantai maka bunyi dentingnya akan terdengar nyaring. Aku baru saja bercerita tentang sebuah kabar yang membuatnya tertegun lama.
Sementara itu aku belum mampu berbicara sepatah katapun. Tanganku masih menggenggam surat berlogo sebuah Rumah Sakit swasta berwarna hijau itu. Di luar hujan rintik-rintik masih menyuarakan nyanyian tak berirama.
"Sudah berapa bulan tadi kata Dokter?"
"Sudah 14 minggu, Bang. Mungkin sekitar 3.5 bulan."
"Kita tidak usah memberitahu siapa-siapa dulu.., cepat habiskan makannya, aku mau keluar sebentar, mau ngerokok."
Aku hanya menggelengkan kepala, sungguh ini sebuah berita yang tidak diinginkan sebenarnya. Mataku memandang Abang Adri, suamiku, yang sedang melangkah keluar. Sungguh aku begitu kalut, anak pertama kami baru saja berusia enam bulan, lalu aku hamil lagi, dan kondisi kami masih menumpang dirumah mertuaku. Aku sudah tidak bisa menahan dan mulai terisak.
Sampai rumah, Raya anakku sudah terlelap. Melihat wajah polosnya sungguh aku tidak tega. Sudah lama rasanya aku ingin kembali pulang kerumah. Iya, aku dan suamiku sudah memiliki rumah walaupun masih menyicil. Tetapi semenjak aku hamil besar hingga sekarang, Abang Adri memilih tinggal di rumah orang tuanya dengan alasan aku yang belum pandai mengurus anak. Padahal saat itu aku sudah memutuskan untuk berhenti bekerja dan dirumah mengasuh anak.
"Bagaimana Sari, jadi minggu depan kamu dinas ke Singapura? Raya sudah tidak menyusui, juga sebentar lagi sudah bisa makan bubur. Kamu tenang saja selama dua bulan dinas disana." ujar ibu mertuaku yang tiba-tiba masuk ke kamar.
Aku hanya menunduk terdiam. Bagaimana aku memberitahu ibu mertuaku kalau hari ini aku memutuskan berhenti bekerja, karena kondisi hamil kedua dan aku ingin mengurus anakku sendiri. Selama ini ASI-ku terbilang tidak sedikit namun juga tidak berlimpah, sedikit usaha sudah pasti aku bisa memberikan Raya Asi Eksklusif. Namun sayang, setiap kali Raya menangis ibu mertua sudah siap dengan susu botol di tangan, juga dengan sigap lebih dahulu menggendong Raya. Saat itu jalanku masih tertatih, bekas operasi secar di perut membuat aku tidak bisa berjalan cepat.
"Mas, bagaimana ini? Kita harus memberitahu ibu kamu."
"Sudah nanti saja kita beritahu. Aku capek mau tidur."
Tiga hari berselang. Aku sudah tidak tahan lagi untuk memberitahu kepada ibu mertuaku. Beberapa hari ini, sepulang bekerja aku pelan-pelan membereskan barang-barang kami, jadi saat waktunya nanti tinggal membawa pulang kerumah kami.
"Sari... Kamu sudah tahu belum? Indah hamil, dan katanya janinnya laki-laki. Wah, cucu laki-laki pertama mama ini." seru ibu tiba-tiba masuk ke kamar.
"Oh ya? Wah pasti Indah bahagia sekali ya." Indah adalah istri dari adik kedua Abang Adri, Arsyad. Sedikit tertegun dengan ucapan Ibu mertuaku, padahal Raya cucu pertama Ibu, walaupun Raya memang perempuan.
"Mama, Sari mau bicara sesuatu."
"Ya, bicara saja. Ada apa?"
"Sari mau pulang kerumah."
"Oo, iya. Silahkan. Seperti biasa akhir pekan kalian kan pulang, pakai serius begini kamu bicara."
"Tapi kami pulang tidak hanya akhir pekan. Kami akan pulang ke rumah, Bu."
"Maksudnya?"
"Aku hamil. Kemarin sudah ke dokter dan katanya usia kehamilan sudah 14 minggu. Aku juga sudah memutuskan untuk mengasuh anak-anak di rumah saja, dan aku sudah mengajukan resign Bu." Terlihat sekali mimik kaget dari ibu mertuaku, seperti menahan amarah. Namun tanpa kata dirinya meninggalkan aku sendirian.
Esok harinya ibu mertua mendiamkan aku seharian. Hari ini aku mengambil cuti, karena hari Sabtu kami akan pulang ke rumah. Maka menyiapkan barang-barang yang tidak sedikit ini.
"Sari, kamu sudah siap di rumah? Kamu yakin untuk tidak bekerja lagi? Tidak kerja bagaimana makan kalian? Sekarang aja hutang melahirkan Raya masih belum lunas."
Ibu mertuaku selalu saja masuk kamar secara tiba-tiba. Memang saat melahirkan Raya entah mengapa kartu BPJS kami dianggap tidak aktif padahal selama kontrol kehamilan setiap bulan kami mengunakan kartu BPJS. Kondisi aku yang sudah tidak bisa lagi menunggu, maka suami mencari pinjaman untuk membiayai persalinan operasi secar yang tidak sedikit.
"Insya Allah rejeki kami akan tetap ada. Doakan saja ya Bu, karena dengan bekal doa ibu sebagai orang tua maka usaha kami akan menemukan jalan."
"Halah, gimana bisa kan kamu sudah tidak bekerja. Kasian suamimu bekerja sendiri. Uang pesangon kamu, gunakan untuk modal usaha. Jangan sampai suamimu repot. Makanya jadi perempuan jaga diri, gara-gara kamu deketin jadinya hamil lagi kan. Di rumah nanti kamu tidur berdua Raya, biarkan Abang Adri tidur sendiri, ga usah deket-deket kamu lagi." Setelah bicara panjang seperti itu tanpa memberikan aku kesempatan bicara, ibu mertua pergi berlalu.
Malam hari, sepulang bekerja Abang Adri duduk bersandar di kasur. Aku duduk di sebelah, sambil bertanya, "Bang, apa aku yang salah ya sampe akhirnya hamil lagi?"
"Hush, jangan ngaco kamu. Wong kamu ada aku, suami kamu. Yaa wajarlah bisa hamil."
"Mama kamu, tadi nyalahin aku. Aku ga kerja juga buat kamu repot ya?"
"Ini apaan lagi sih. Mama aku tuh udah aku kasih tahu, dan mama ga masalah kita pulang dan kamu hamil apalagi kamu resign. Itu kan pilihan kita. Semua baik-baik aja, kamu lagi hamil makanya sensitif deh."
Beberapa bulan kemudian.
"Sariii....kamu hamil santai-santai aja, jangan tidur pagi hari. Belanja ke pasar sana, Indah sedang dalam perjalanan kesini."
Padahal semalam Raya rewel, begadang semalam dan baru saja Raya terlelap lalu aku ketiduran di sebelahnya. Aku sudah bilang kalau Raya sedang tidak enak badan, tapi ibu mertua memaksa aku dan Raya untuk datang, katanya mau masakin Abang Adri.
Baru saja memakai sandal untuk berangkat ke pasar. "Sari, jangan lupa beli ikan nila kesukaan Indah."
"Tapi Bu, aku mau belanja ayam untuk Abang Adri, kan jauh Bu tempat penjual ikan dengan tempat penjual ayam."
"Gitu aja ngeluh, wong tinggal belanja aja yang kerja nyari duit kan bukan kamu."
Setelah pulang dari pasar, aku benar-benar merasa lelah. Kurang tidur dan berjalan jauh dengan perut sudah memasuki usia kehamilan 20 minggu, sungguh membuat aku kelelahan.
Sejenak merebahkan badan di kasur tanpa sadar aku ketiduran. Di luar kamar terdengar orang sedang berbicara.
"Ini Sari, emang kelewatan. Mama belanja ke pasar sendiri, dia malah asik tidur. Udah mama yang belanja, mama juga yang masak. Perempuan tuh harus kerja, kalau ga kerja kan jadi pemalas begitu. Mana hamil lagi tuh sekarang Sari, ikut-ikutan kamu itu Ndah."
"Ibu jangan bicara seperti itu, mba Sari masa begitu sih?"
"Ih, kamu ga percaya. Nanti nih, bangun tidur langsung makan. Udah cepetan kamu abisin ikan nila, kesukaan kamu kan?"
"Iya Bu, tapi kan mba Sari juga suka ikan nila Bu. Ikan kan bagus buat ibu hamil."
"Ya sudah kalau kamu tidak mau habiskan. Ini mama bungkuskan buat kamu bawa pulang kerumah ya. Kamu tuh hebat sudah hamil juga bekerja. Menghasilkan uang sendiri jangan kaya Sari, anak nambah malah berhenti bekerja."
"Ibu, mba Sari juga waktu hamil Raya tetap bekerja. Malah hamil besar ada perjalanan dinas ke luar negeri."
"Kamu tuh kalo dibilangin, jawab aja. Kalau aborsi ga dilarang, mama udah tarik tuh Sari ke klinik buat digugurkan."
Dari balik pintu, aku mendengar percakapan itu sambil menutup mulut agar tidak terdengar suara tangisan. Jadi kenapa selama ini mama selalu membahas tentang jamu untuk menggugurkan kandungan, sampai tempat ilegal yang terkenal di Jakarta sebagai tempat orang biasa aborsi, sampai bahas tetangga atau bahkan orang-orang yang kami kenal berhasil menggugurkan kandungan. Aku pikir hanya obrolan biasa, nyatanya...
Apa ibu mertua tidak tahu bahayanya menggugurkan kandungan bagi ibu hamil? Mengapa bicara dengan Abang Adri sepertinya ibu mertua mensupport aku yang berhenti bekerja dan fokus mengasuh anak sedangkan sekarang rasanya tidak berharga seorang wanita yang tidak bekerja?
"Sari, kamu tuh tahu dokter A*** di Jalan RS Jakarta? Katanya itu dokter tangan dingin, usia kandungan berapa pun pasti berhasil digugurkan sama dia tuh."
Teringat aku salah satu perkataan ibu mertua beberapa waktu lalu.
"Sari, kamu tahu kan Ibu Sugi yang punya empat anak cowo? Waktu itu dia hamil lagi yang kelima, karena setelah periksa ke dokter anaknya cowo lagi, ibu Sugi minum jamu loh. Padahal sudah hamil lima bulan. Tapi gapapa tuh minum jamu, bersih sudah rahimnya."
Mengapa akhir-akhir ini ibu mertua membicarakan hal semacam itu. Tidak menyuruh tapi kok rasanya gimana. Apa dia tidak tahu ibu hamil perlu ketenangan, kalau begini apa tidak jadi seperti menyalahkan aku?
Setelah kejadian mendengar Ibu dan Indah, aku memutuskan untuk tidak terlalu sering mengunjungi ibu mertua. Kalau pun bertemu aku berusaha untuk tidak banyak bicara. Aku masih belum menceritakan pada suami perihal kejadian ini, karena aku belum siap dengan tanggapan suami, entah percaya padaku atau malah memarahi aku.
Tamat

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua