Pearl, Setelah Dua Puluh Tahun



AKU sedang membongkar tumpukan buku di rak lama ketika kutemukan sebuah buku catatan harian hampir dua puluh tahun yang lalu. Buku tulis setebal lebih kurang dua sentimeter itu berisi coretanku tentang apa saja: catatan pagi setiap bangun tidur, ide cerita pendek, ide bab novel, serta rangkaian imajinasi, fakta, mimpi, atau apa pun yang melintas di kepalaku.

Dan catatan tentang dia: Pearl.

Aku memang masih menulis buku harian—bahkan sampai sekarang—meskipun tidak lagi diawali dengan Dear Diary seperti di zaman SMP dan SMA dan tidak menulis setiap hari.

Aku juga tidak tahu mengapa saat itu aku selalu mencatat SMS-SMS dia di buku itu. Mungkin karena aku sekadar tak ingin SMS-nya hilang, sedangkan kapasitas penyimpanan pesan singkat di ponselku sangat terbatas.

Di bukuku sengaja kutulis namanya Pearl, bukan nama aslinya. Aku tak ingin nama aslinya terlacak melalui buku itu, entah bagaimana caranya. Pemikiran yang agak konyol, ya?

Di mana dia sekarang, ketika teman-temannya sudah banyak yang menikmati perjuangan mereka dengan tumbuh menjadi tokoh-tokoh nasional? Kalau saja mengikuti langkah mereka, kupikir dia sangat layak menjadi setidaknya komisaris badan usaha milik negara.

Inilah catatanku tentang dia. Aku menulis apa adanya, tanpa ditambah atau disunting, untuk menjaga sejarah tentang kami—oh, tentang dia.

**

Catatan pertama tentang dia bertanggal 14 April, pukul 05.31:

Aku mimpi bertemu kamu, sebuah pertemuan tanpa kata-kata. Kamu datang, menatapku lama, melalui dua bola matamu yang berlapis lensa kontak yang membuat matamu kehijau-hijauan. Kamu makin cantik, tapi juga makin misterius. Senyummu yang sekilas-sekilas menghadirkan sejumlah tanda tanya.

Aku ingat pertemuan kita di Plaza Istana tempo hari. Yakinkah kamu dengan jalan yang kamu pilih? tanyaku. O, sudah beratus kali kamu bilang yakin. Yakinkah kamu bahwa dengan jalan yang kamu pilih kamu akan menikmatinya kelak?

Jangan berpikir yang akan menikmatinya itu aku, tapi anak-cucu kita, jawabmu.

Apakah kamu bahagia dengan jalanmu ini?

O, sangat bahagia. Aku sangat bahagia manakala melihat ada pancaran harapan dari mata seorang pekerja yang menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk serupiah-dua rupiah. Ketika terbuka hati dan pikirannya akan haknya, oh, itu indah sekali.

Apa sebenarnya tujuanmu dengan semua apa yang kamu lakukan?

Ah, pertanyaan yang juga diajukan banyak orang. Ya, apa tujuanku? Sulit kurumuskan dengan kata-kata. Aku hanya merasakan sebuah keindahan ketika menatap mata yang polos ketika bertemu dengan mereka.

Apakah ada sisa waktu untuk dirimu sendiri? Kenapa tidak? Semua waktu adalah untukku sendiri. Bukankah semuanya untuk orang lain? Untuk orang lain berarti untuk diri sendiri.

Kok, ya, ada manusia, muda dan cantik, seperti kamu.

Ya, buktinya ada. Eh, apakah semua ini wawancara? Jangan ditulis semuanya, ya.

Aku tahu apa saja yang perlu aku tulis.

**

Catatan kedua tentang dia bertanggal 20 April:

“Bayangkan… jam segini aku belum tidur. Kamu pasti sedang lelap.” Begitu bunyi SMS-mu, yang tercatat masuk pukul 04:18:37 dan baru kubaca pukul setengah sembilan pagi.

Pearl, apa yang kamu kerjakan hingga begadang sampai pagi? Ketika aku bangun—dan kebanyakan orang lain sudah duduk di meja kantor masing-masing—kamu mungkin baru lelap. Atau lelap sebentar—dua atau tiga jam—lalu bangun dan menghadapi tugas-tugasmu berikutnya?

Kamu pasti sedang menikmati pekerjaanmu—kamu selalu bilang menikmati, bukan melakukan, menggarap, atau yang semacam itu—mungkin menyusun sebuah rencana unjuk rasa atau merancang satu acara konsolidasi di antara unsur-unsur organisasi tempat kamu terlibat.

Aku hanya pernah menyentuh jemarimu ketika kita bersalaman untuk kali pertama. Masih kurasakan tangamu yang halus, Pearl, terkesan kurus dan panjang. (Berapa berat tubuhmu? Ada 50 kg? Bandingkan dengan tinggi tubuhmu yang 170 cm.) Tanganmu selalu tampak seperti tangan penari yang lemah lembut dengan jari-jemari yang lentik, tapi di tanganmu itulah beban-beban tugas yang tak kubayangkan berada dalam cengkeraman. Kamu remas, kamu belai, dengan segala kasihmu. Masa depan banyak orang tergenggam dalam jemarimu.

Wajahmu cantik, dan memang pantas suatu saat, beberapa tahun lalu, kamu pernah menang dalam sebuah kontes kecantikan. Kombinasi hidung yang mancung, bibir yang tipis, yang makin indah ketika tertawa (kadang mengingatkanku pada bentuk segiempat), dan mata yang menyorot tajam bukanlah tipikal sosok seorang demonstran, melainkan gambaran pas seorang bintang iklan. Tapi kamu tinggalkan semua kesempatan untuk menjadi selebritas dan meraih kemasyhuran demi sebuah cita-cita yang—seperti berkali-kali kamu katakan—jauh lebih tulus.

Aku bahagia telah memilih, katamu.

Aku percaya, Pearl, dari sinar matamu tiap kali kamu bercerita tentang nasib Asih atau Kunah yang kamu jumpai di kamar-kamar mereka yang kumuh.

Ah, indah sekali pancaran sinar mata mereka, katamu lagi. Senyummu mengembang tiap kali kamu bercerita baru saja meninggalkan rumah orang tuamu yang seperti istana kalau dibandingkan dengan kamar Atun yang hanya dua kali dua meter dan dijejali dengan tubuh-tubuh lain—Asih dan Kunah—dan pakaian yang bergelantungan serta alat-alat kecantikan murah di meja kecil setengah meter dan… apa lagi, Pearl?

**

Catatan ketiga bertanggal 10 Mei:

Lagi sibuk apa? Aku kangen ceritamu.

SMS itu kukirimkan pada sore hari kemarin.

Pagi ini aku menerima balasannya, yang ia kirimkan pada pukul 00.23:24. Aku baru sampai di Jakarta dari Garut, mau kongres partai oposisi. Tanggal 27 deklarasi di Jakarta.

**

Catatan keempat bertanggal 22 Juli:

Selamat ulang tahun, Pearl. Ke-23 atau 24? Ah, kamu masih kelihatan baru 19 tahun. Ke mana saja kamu, Pearl?

SMS itu kukirimkan pukul 00.01, berharap bahwa akulah orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun pada hari itu.

Tapi tak ada balasan.

**

Catatan kelima bertanggal 18 Januari, dua tahun berikutnya.

Sebuah surat elektronik masuk ke alamat emailku, dari Pearl, dengan nama asli. Kusalin apa adanya di buku catatanku:

“Hai, apa kabar, sahabat? Berapa lama kita tak jumpa? Aku memang enggak pernah lagi menghitung waktu. Biarlah waktu lewat seperti angin, dan aku akan menyadari suatu hari, tahu-tahu aku sudah berada di titik koordinat tertentu.

Sebenarnya aku lama ingin menulis sesuatu, khusus untukmu. Mungkin tulisan itu nantinya akan kamu baca semua, kamu simpan saja, kamu bukukan, atau kamu buang. Aku hanya ingin bercerita tentang kenangan, tentang kebahagiaan, sekaligus tentang kekecewaan.

Aku kini tengah berada di suatu tempat yang entah. Mungkin suatu saat aku akan lebih berterus terang tentang lokasi aku berada dan apa yang sedang kulakukan.

Aku hanya bisa bercerita kepadamu. Bagaimanapun, suatu saat, kamu adalah orang yang istimewa. Ah, sampai sekarang pun kamu masih istimewa. Kamulah yang paling memahami semua yang kulakukan. (Benarkah, Pearl? Kenapa baru bilang sekarang?)

Masih kuingat kamu pernah mengajukan pertanyaan itu: apa sebenarnya yang sedang kulakukan? Bukankah jalan yang sedang kutempuh seperti sebuah absurditas? Aku tidak tahu apakah yang disebut absurditas. Bagiku, apa yang kalian lakukan itulah yang absurd, sedangkan apa yang kulakukan adalah realitas yang masuk akal.

Bukalah attachment di e-mail-ku ini. Di situlah semua catatanku tersimpan. Terserah mau kamu apakan.

Salam.”

**

Catatan terakhir bertanggal 1 Februari:

Aku sudah membaca tulisan panjangmu dan aku ingin menawarkannya ke penerbit. Untuk itu, aku ingin lebih dulu menyunting dan mengolahnya dan aku perlu memperoleh persetujuanmu dan mendapat tambahan sejumlah informasi tentang kamu.

Namun, emailku kemudian tidak pernah kamu balas. Begitu juga SMS-SMS-ku. Setelah dua tahun tanpa kabar, kamu benar-benar lenyap seperti asap yang tertiup angin senja.

**

Sayangnya, naskah itu tidak pernah terbit menjadi buku. Para penerbit menolaknya, entah dengan alasan apa.

Sampai sekarang, aku hanya membayangkan tiga kemungkinan tentang dia: tertangkap oleh pihak berwajib dan dieksekusi, bergabung bersama Asih dan Kunah di sebuah pabrik kemudian melanjutkan hidup sebagai orang biasa, atau bertemu dengan seorang pangeran dan hidup di negara sang pangeran dan berbahagia untuk selama-lamanya.

Kemungkinan pertama pasti membuatku menangis. Karena itu, aku lebih suka membayangkan kemungkinan ketiga: aku akan berbahagia untuk kebahagiaan dia.

Kalau itu yang terjadi, aku harap dia membaca tulisanku ini.

Dan kuharap dia tersenyum ketika membacanya. 

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua