Posts

Showing posts from April, 2022

Memeluk Luka

  “Ibumu itu gila!” Kiara memilih diam mengunci bibirnya rapat-rapat setiap kata-kata itu meluncur dari mulut-mulut yang sesungguhnya ia tidak kenal betul. Jika melawan omongan itu, bisa jadi ia dianggap bodoh dan tak tahu diri. Toh, semenjak ia lahir, ia tak pernah melihat ibunya. Ia tak tahu harus membela dengan cara bagaimana. Ibunya meninggal beberapa hari setelah melahirkannya. Berbagai penilaian yang ditujukan pada ibunya seperti lemparan batu-batu tajam pada gundukan tanah. Batu-batu dan kerikil tajam itu terhempas di atas gundukan tanah tanpa sedikit pun terjungkal ke tempat lain. Kecuali saat ada angin kencang yang itu pun tak kan muncul setiap hari. Ibunya sudah mati. Namun, lemparan-lemparan batu dan hantaman kerikil tajam masih dilemparkan bertubi-tubi. “Kamu percaya jika ibumu itu tidak waras?” Niyasa, kawan SMA-nya tiba-tiba bertanya. Entah dari mana ia turut mendengar ucapan itu. Mungkin dari mama tirinya, atau ayahnya sendiri saat ia berkunjung ke rumahnya untuk sekedar

Pernah Cantik

 Perempuan Itu Pernah Cantik PEREMPUAN itu selalu berkata dalam hati, “Aku pernah cantik.” Di masa silam, sebelum menikah, ia tak pernah membayangkan akan berjibaku dengan tumpukan baju kotor, detergen bubuk yang membuat kulit mengelupas, serta tali jemuran kendur yang terpancang dari batang pohon mangga ke pohon jambu. Ia tak pernah membayangkan akan berjalan di atas tanah becek sisa hujan. Sambil menjinjing bak besar berisi pakaian basah yang beratnya mohon ampun. Dengan sandal jepit kedodoran yang berbunyi telepak-telepok dan memuncratkan lumpur ke betis belakangnya yang dulu pernah begitu ramping. Kalau sedang jengkel, ia akan menyeret bak cuci berisi pakaian basah itu dari kamar mandi sampai ke bawah pohon mangga. Tak peduli bak plastik itu akan retak atau terbelah dua. Suatu kali itu pernah terjadi. Menyeret bak cuci itu sampai terbelah hingga cucian-cucian yang sudah dibilas itu berbaur dengan tanah. Ia tak memunguti baju-baju yang kembali menjadi kotor itu, alih-alih mengilas-i

Menikmati Luka

“Apakah cara kasarnya itu adalah usaha melindungi ibu? Apakah itu caranya menunjukkan kekuasaan bahwa dia adalah pemimpin di dalam rumah?” Aku melihat ibuku dipukuli lagi. Tanpa perlawanan.  Menurutku dia tampak menikmati. Pasrah. Padahal tubuhnya penuh bekas pukulan. Ada banyak lebam kebiruan.  Tapi, ibuku selalu berusaha menutupinya. “Enggak apa, nanti juga hilang kok sakitnya.” Selalu begitu jawabnya. Di malam muram yang lain, aku melihat ibuku pingsan lagi. Kali ini pukulan ayah mendarat mengenai kepalanya.  Tak ada kekhawatiran dalam gurat wajah ayah. Dia bahkan melangkah pergi begitu saja saat tubuh ibu tergeletak di lantai.  Dan saat ibu sudah tersadar, ibu dijadikan alat pemuas hasrat berahinya. Aku juga melihatnya.  “Enggak apa, memang sudah jadi kewajiban dan tugas Ibu.” Selalu begitu jawabannya. Jawaban yang selalu sama.  Di petang yang lain, aku melihat ujung bibir ibu mengeluarkan darah. Sekali lagi ujung bibir itu sobek.  Kali ini ayah menamparnya. Bolak-balik. Tapi, ibu