Pernah Cantik

 Perempuan Itu Pernah Cantik


PEREMPUAN itu selalu berkata dalam hati, “Aku pernah cantik.”


Di masa silam, sebelum menikah, ia tak pernah membayangkan akan berjibaku dengan tumpukan baju kotor, detergen bubuk yang membuat kulit mengelupas, serta tali jemuran kendur yang terpancang dari batang pohon mangga ke pohon jambu. Ia tak pernah membayangkan akan berjalan di atas tanah becek sisa hujan. Sambil menjinjing bak besar berisi pakaian basah yang beratnya mohon ampun. Dengan sandal jepit kedodoran yang berbunyi telepak-telepok dan memuncratkan lumpur ke betis belakangnya yang dulu pernah begitu ramping.


Kalau sedang jengkel, ia akan menyeret bak cuci berisi pakaian basah itu dari kamar mandi sampai ke bawah pohon mangga. Tak peduli bak plastik itu akan retak atau terbelah dua. Suatu kali itu pernah terjadi. Menyeret bak cuci itu sampai terbelah hingga cucian-cucian yang sudah dibilas itu berbaur dengan tanah. Ia tak memunguti baju-baju yang kembali menjadi kotor itu, alih-alih mengilas-ilasnya di tempat lantaran jengkel. Membuat baju-baju itu berlepotan tanah.


Kejengkelan dan rasa lelah yang sangat membuatnya jadi begitu. Namun, pada akhirnya ia memungutinya juga. Memindahkannya ke bak lain, lantas membilasnya lagi sampai bersih. Itu ia lakukan sambil menangis. Selalu menangis. Wajahnya suram. Dan anak-anak rambut menutupi keningnya yang basah. Ia menyekanya dengan tangan beraroma detergen.


Tak seorang pun mengetahui kemurungan itu, kecuali gadis kecil berusia 4 tahun yang selalu mendekatinya dan bertanya, tapi tidak dengan nada bertanya, “Mama menangis? Mama menangis ya?”


***


Perempuan itu pernah cantik. Di masa silam, sebelum menikah, ia tak pernah membayangkan akan berdiri di depan kompor, sambil melemparkan ikan asin ke dalam wajan yang telah digenangi minyak panas berwarna kehitaman. Mengeluarkan suara jesss… Minyak-minyak itu muncrat ke dinding dapur, lantai, dan dasternya. Dan setelah selesai memasak, ia akan membersihkannya. Semuanya. Aroma ikan asin menguar memenuhi udara. Menempel di dasternya. Di rambutnya. Di sekujur tubuhnya.


Selepas itu, ia akan mencuci cabai, mengupas bawang, dan mengulek sambal di atas cobek. Ia mengulek dengan gerakan berulang seperti orang bergoyang. Betapa semua pekerjaan itu sungguh menjemukan. Jauh dari perangai cantik seorang peragawati.


Bagaimanapun, suaminya harus sarapan di pagi hari, segera, sebelum berangkat kerja. Begitu pula balitanya, yang sangat menggemari ikan asin, juga dirinya sendiri. Suatu kali ia teringat, di masa muda, ia pernah makan di sebuah hotel dengan pisau dan garpu. Serta bunga amarilis dalam gelas besar di tengah meja. Ia duduk menyilangkan kaki sambil berbincang dengan kawan-kawannya yang barangkali sampai detik ini masih cantik, tak seperti dirinya. Ia merindukan makan di tempat seperti itu, dengan hidangan seperti itu, dan berdampingan dengan kawan-kawan seperti itu. Namun, ia tahu, hal semacam itu tak akan pernah terulang dalam hidupnya. Tak akan pernah.


***


Semua orang tahu, perempuan itu memang pernah cantik. Di masa silam, sebelum menikah, ia tak pernah membayangkan akan berhadapan dengan setumpuk piring kotor serta wajan licin berminyak di wastafel tua dan berkerak. Sabun cuci piring berwarna hijau bening itu ia tuang ke dalam mangkuk kecil dengan spons berkerut dan kawat cuci. Ia memeras spons itu dan busa-busa mengembang. Ia menggosok piring-piring dan mangkuk dan wajan dan panci dan sendok, perlahan-lahan. Sambil memperhatikan jari-jemarinya yang dulu pernah begitu lembut. Dengan kuku-kuku mengilap berkuteks merah menyala.


Kadang kala, saat perkakas dapur itu benar-benar menggunung, ia benar-benar ingin meminum sabun cuci piring berwarna hijau bening beraroma jeruk nipis itu. Meminum semuanya. Tandas. Sampai ia roboh dan menggelinjang dengan busa-busa keluar dari mulutnya. Dan ia tertawa sendiri. Sabun cuci piring bukanlah racun tikus yang bisa membunuh seseorang. Kalaupun ingin mati, ia bisa saja menggantung diri di bawah pohon mangga atau pohon jambu. Namun, ia belum ingin mati. Seberat apa pun hari-harinya, ia belum ingin mati. Ada gadis kecil mungil tak berdosa yang selalu membutuhkannya.


***


Setiap kali mematut diri di muka cermin, perempuan itu kerap menggumam, “Dulu aku pernah cantik.”


Di masa silam, sebelum menikah, ia tak pernah berangan akan mengesot di lantai sambil mengepel bekas pipis anaknya. Rumah itu tak terlalu lebar, tapi balitanya adalah balita normal yang suka ngompol di mana suka. Gemar merontokkan makanan yang dicekalnya. Suka menumpahkan susu dan semacamnya di lantai. Ia tak tahan dengan lantai kotor, yang licin dan berminyak, apalagi bersemut. Maka, tiap kali balitanya membuat kekacauan di atas lantai, ia akan segera mengesot, mengelap ubin-ubin itu menjadi cling.


Kadang ia sangat jengkel pada balitanya itu, ingin memutar waktu, dan memasukkan bocah itu kembali ke dalam perut. Ia merasa begitu sial telah melahirkan seorang bayi. Namun, beberapa menit kemudian, ia benar-benar menyesal telah berpikiran kejam seperti itu. Bahkan, penyesalan seperti itu kerap membuatnya menangis. Sambil menatap wajah balitanya yang tertidur, ia berbisik ke telinga mungil itu, “Maafkan mama, Nak! Maafkan mama, Nak!”


Ilustrasi. (Budiono/Jawa Pos)

Beberapa kali, ketika ia sangat lelah, dan balitanya kembali membuat ulah, ia sangat ingin meneriaki balita itu tepat di mukanya, lantas menamparnya atau memukul pantatnya atau mencubitnya. Namun, ia tahu, perlakuan-perlakuan semacam itu tak akan pernah membuat balitanya berhenti. Ia hanya balita, yang hanya tahu makan, menangis, serta buang air. Ia bahkan tak tahu apa yang sedang dilakukannya. Sebab, ia hanya balita yang belum memiliki nalar. Karena itu, ia tak pernah melakukan hal-hal kejam semacam itu kepada balitanya. Sebab, ia yakin, setelah melakukan itu, ia pasti akan sangat menyesalinya. Sangat menyesalinya.


Maka, jika ia sangat lelah, dan balitanya tak henti-henti membuat ulah, ia akan berlari ke kamar mandi. Mencelupkan segenap kepalanya ke dalam air dan berteriak sekencang-kencangnya. Rambutnya basah. Dasternya basah. Napasnya megap-megap. Dan ia tak pernah peduli. Seolah sangat tidak masalah kalau daster basah itu akan membuatnya kedinginan, lalu membuatnya sakit, lalu membuatnya mati.


***


“Aku memang pernah cantik.” Selepas mandi sore bersama anaknya, ia akan berdiri di muka cermin. Sambil menunggu suaminya pulang kerja. Ia berlama-lama di muka cermin, mencari-cari jejak kecantikan yang barangkali masih tersisa. Namun sungguh, ia nyaris tak pernah menemukannya. Kulit wajah yang kencang itu telah mengendur. Persis bentuk tubuh yang menggelambir mirip buah pir. Matanya yang dulu binar telah meredup. Dihiasi garis-garis tipis di tiap sudutnya. Rambut yang dulu pekat mengilap dan selalu tampak basah itu kini kusam dan bercabang, bahkan mulai beruban. Ke mana perginya kecantikan masa muda?


Orang mungkin tak ’kan percaya bahwa di masa muda ia pernah menjuarai kontes kecantikan tingkat kota. Tepatnya tiga kali. Ia diundang ke hotel bintang lima berbaur dengan model-model lain dari berbagai kota. Melenggang di atas panggung. Mempertontonkan kecerdasan serta kecantikan luar dalam. Membuat banyak orang terpukau. Ketika itu ia membayangkan akan mendapatkan seorang suami yang tampan dan kaya. Seorang bintang film mungkin. Dan kelak, kalau ia harus punya anak, pembantunya yang akan mengurus dan ia bisa tetap cantik dari waktu ke waktu.


Namun, nasib berkata lain. Ia malah menikah dengan seorang pemuda yang biasa-biasa saja. Tidak tampan, tidak romantis, tidak juga kaya. Berperawakan ceking dan bermuka tirus. Bekerja di sebuah agen asuransi dan kadang-kadang, kalau ada waktu, mengajari anak tetangga mengaji serta berhitung. Kadang dikasih amplop, kadang tidak.


Kadang-kadang ia berpikir bahwa hidupnya seperti mimpi. Bagaimana bisa ia menikah dengan lelaki yang tak pernah ia bayangkan itu. Ia tak tahu apakah ia mencintai suaminya. Yang jelas, ia takut kehilangan lelaki itu. Jika itu yang dinamakan cinta, mungkin ia memang mencintai lelaki itu. Sangat mencintainya. Dan ia sangat menghormati lelaki itu –meski kerap kali ia sangat jengkel padanya. Lelaki yang sehari-hari hidup dengannya, tapi hampir tak memiliki waktu untuknya dan anaknya. Kecuali akhir pekan yang kadang kala masih disita kerja lembur dan semacamnya.


Sesekali ia sangat ingin duduk di dekat lelaki itu sambil bercerita, betapa hari-harinya teramat berat dan melelahkan dan ia sangat butuh sandaran untuk beristirahat. Namun, semua itu tak pernah ia lakukan. Sebab, setiap pulang kerja, mata lelah yang sama ia temukan di mata lelaki itu. Di mata suaminya.


Sebagaimana suaminya, ia tak pernah bertanya apa saja yang sudah dilalui lelaki itu di luar sana. Ia tak tahu, barangkali, setiap pagi dan petang, lelaki itu harus berjibaku dengan asap dan jalanan macet, di atas motor bututnya. Barangkali ia tidak sempat makan siang. Dikepung pekerjaan yang menumpuk. Ditegur atasannya dan seterusnya…


Melihat mata lelah pencari nafkah itu, ia tak sampai hati dan memilih membiarkan lelaki itu beristirahat dengan caranya sebagaimana ia beristirahat dengan caranya sendiri. Biasanya, selepas makan malam, lelaki itu akan bercengkerama di dalam kamar dengan balitanya. Hingga mereka tertidur saling memeluk. Di sela hari-hari yang berat dan melelahkan, detik itulah yang paling indah dan paling ia nanti. Ketika suami dan anaknya tertidur.


Saat demikian, ia akan kembali ke dapur, membersihkan dan mencuci puing-puing sisa makan malam. Sambil memikirkan bahwa sejatinya hidupnya tidak terlalu buruk. Ia yakin ada seseorang di luar sana yang tak memiliki apa pun, hingga barangkali belum makan sesuap nasi pun sampai selarut ini. Setelah pekerjaan-pekerjaan rumah yang hampir tak ada habisnya itu beres, ia masuk ke dalam kamar dengan wajah semringah. Ia menyelimuti suaminya. Membetulkan letak tidur balitanya.


Sebelum benar-benar memejamkan mata, kerap kali ia melihat dirinya di masa lalu tengah terbang di langit-langit kamarnya. Kadang berjalan anggun di udara. Dan selalu ada suara lembut yang berbisik di ambang kesadaran… Kau pernah cantik. Kau memang pernah cantik.


 ***

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua