Posts

Showing posts from February, 2022

Resensi Buku Silent Patient

 Identitas Buku Judul: The Silent Patient Penulis: Alex Michaelides Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit: 2019 ISBN: 9786020633909 Tebal halaman: 400 halaman Sinopsis Buku Suatu malam, terdengar bunyi tembakan dari rumah pasangan Gabriel dan Alicia Berenson. Ketika polisi masuk, Gabriel ditemukan tewas tertembak lima kali di wajah dengan posisi terikat di kursi. Alicia berdiri di depan suaminya. Senjata api tergeletak di lantai. Alicia membisu. Ia tak menjawab satu pertanyaan pun. Ia tetap diam ketika dituduh membunuh Gabriel. Alicia tetap bungkam sewaktu ditahan, tidak menyangkal atau mengaku. Ia tak pernah bicara lagi. Alicia tetap membisu–tapi menyatakan satu hal, dengan lukisan potret diri. Ia memberi judul di sudut kiri bawah kanvas, dengan huruf-huruf Yunani biru terang. Resensi Buku Bagian awal dari buku ini bercerita tentang Alicia Berenson, seorang pelukis ternama diduga membunuh suaminya, seorang fotografer mode bernama Gabriel Berenson, setelah ditemukan tewas de

Kalung Seorang Kekasih

 Makan malam sudah berlalu sejak setengah jam. Aku tidak kembali ke kamarku, pun begitu istriku tengah menemani Rey, anak kami agar lekas tidur. Rencana untuk berkunjung ke taman yang ada di Monas membuatku pergi ke loteng dan mencari sepatu roda yang pernah kugunakan dulu, sebelum menikah, untuk bermain bersama Rey minggu sore nanti. Aku menurunkan beberapa tumpukan dus, membongkarnya. Aku yakin kalau telah menyimpan sepatu roda berwarna abu-abu itu di salah satu dus dan meletakkannya di sini bersama barang-barang tak terpakai lainnya. Membuatku terus mencari dan melepas selotip yang merekat pada tiap-tiap dus yang mengunci rapatnya. “Ah, ternyata memang benar ada di sini,” gumamku setelah menemukannya di dalam sebuah dus mie instan yang terbungkus rapi oleh koran. Tak lama setelah memisahkan sepatu roda itu dan merapikan dus-dus hingga tersusun seperti semula, aku langsung bergegas menuruni anak tangga kecil yang terbuat dari kayu sebagai pijakannya, dan tambang untuk menyambung tiap

Tidak Pernah Ada yang Baik-baik Saja

 Malam ini, di luar hujan sangat deras sekali. Suaranya terdengar bising di telinga, namun cukup menenangkan. Dan untuk mengisi kekosongan, aku memutuskan untuk bercerita. Bukan tentangku, tapi tentang temanku. Namanya Kinara Zakeisha. Orang-orang disekitarnya biasa memanggil dia dengan sebutan Ara. Nama yang cukup manis untuk si muka datar yang misterius. Aku kenal dia sudah sejak lama, sejak kita masih kecil. Bahkan aku tak ingat kali pertama berjumpa dengan Ara. Ara. Dia cuma, gadis yang lahir tanpa mimpi. Tanpa tahu nanti dia mau jadi apa, tapi dia juga perempuan yang banyak mau. Gadis yang mencoba menyelam ke permukaan padahal dirinya sendiri tidak bisa berenang. Bisa dibilang, ya, dia gadis aneh. Hobinya cuma baca buku buku gak sehat, nonton film sakit, sama ngedengerin musik yang gelap. Gak pinter-pinter amat sih, tapi ya gak bodoh juga. Gadis yang sulit berinteraksi sama orang baru, maunya di rumah melulu. Gak pandai bersuara dengan lantang. Apa-apa dipendam sendirian. Bisa dib

Antara Fajar dan Senja.

Sore itu, aku menghampirimu. Bersama sepoi angin Pantai Parangtritis yang menyejukkan. Kau ada di sana. Berdiri di depan kios kecil yang kita beli beberapa tahun lalu dengan wajah sumringah. Beberapa turis domestik maupun mancanegara nampak singgah. Bertanya-tanya seputar harga barang yang kau jajakan. Kemudian menawar setipis bibir yang dipamerkan. Belum puas, dia juga mengolok-olokmu. Sebab kau tak mengiyakan penawaran mereka. Terlalu. Aku benar-benar tak bisa lagi tinggal diam. Kakiku telah melangkah, hampir menghampiri kalian. Memaki orang yang tak berperasaan itu. Namun, niat itu kuurungkan karena aku melihat kau tetap tersenyum tulus. Menolak dengan cara yang halus. Aku memalingkan wajah. Tak tahan melihat wajah cantikmu yang selalu saja menyunggingkan senyuman walau hakikatnya hatimu terluka. Di saat itulah kau memanggilku. Mau tak mau, aku pun menoleh. Tak kusangka kau sudah ada di depanku. Mengulurkan tangan. Iya, aku ingat ini adalah hal pertama yang selalu kita lakukan saat

Mantra

Aku akan menghitung hingga sepuluh, seperti yang kau ajarkan dulu, dan di ujung hitungan itu kamu akan datang menjemputku, melindungiku seperti yang selalu kau lakukan dahulu.  Kututup mataku.  Satu Dua Sebuah tamparan mendarat di pipiku.  “Anak tak tahu diri!”   Aku terpelanting ketika tamparan kedua menggoyahkan keseimbanganku.  Tiga Kulihat sepasang kaki di hadapanku. Kutengadahkan wajahku, tanpa suara sebab pemilik sepasang kaki di mana seharusnya surgaku terletak itu takkan bisa berbuat apa-apa. Tak ada lagi surga di telapak kakinya. Hilang tak berbekas sejak bertahun-tahun lalu.   Pemilik sepasang kaki itu tetap bergeming, tak ada sejumput kasihan meski sebuah kaki yang lain menghantam wajahku.  “Apa liat-liat? Kau pikir ibumu akan menolongmu?”  Empat Lelaki itu merenggut rambutku, memaksaku berdiri.   “Tidak ada yang bisa menolongmu, anak sialan! Percuma aku menghidupimu. Kau tak berguna!” Lelaki itu meraung dalam caci makinya. Tangannya meraih batang sapu yang kusandarkan di di