Mantra

Aku akan menghitung hingga sepuluh, seperti yang kau ajarkan dulu, dan di ujung hitungan itu kamu akan datang menjemputku, melindungiku seperti yang selalu kau lakukan dahulu. 

Kututup mataku. 


Satu


Dua


Sebuah tamparan mendarat di pipiku. 

“Anak tak tahu diri!”  

Aku terpelanting ketika tamparan kedua menggoyahkan keseimbanganku. 


Tiga


Kulihat sepasang kaki di hadapanku. Kutengadahkan wajahku, tanpa suara sebab pemilik sepasang kaki di mana seharusnya surgaku terletak itu takkan bisa berbuat apa-apa. Tak ada lagi surga di telapak kakinya. Hilang tak berbekas sejak bertahun-tahun lalu.  

Pemilik sepasang kaki itu tetap bergeming, tak ada sejumput kasihan meski sebuah kaki yang lain menghantam wajahku. 

“Apa liat-liat? Kau pikir ibumu akan menolongmu?” 


Empat


Lelaki itu merenggut rambutku, memaksaku berdiri.  

“Tidak ada yang bisa menolongmu, anak sialan! Percuma aku menghidupimu. Kau tak berguna!”


Lelaki itu meraung dalam caci makinya. Tangannya meraih batang sapu yang kusandarkan di dinding usai membersihkan kamar tadi. 


Lima


Aku terjatuh lagi ketika hantaman batang sapu itu—entah yang keberapa kali—singgah ke tubuhku. Oh, aku tak merasakan sakit lagi. Tubuhku terlalu pintar beradaptasi. Aku hanya perlu diam, sebab tak ada gunanya menghindari, apalagi melawan. Aku hanya menantikanmu, di hitungan ke sepuluhku. 


Enam


“Pergi, kau!” bentaknya pada perempuan yang telah menjadi asing bagiku, “Aku akan memberi pelajaran anak setan ini! Sepuluh tahun dia kupelihara, hidup dari belas kasihanku, menikmati suar lelahku, dan dia masih tetap tak bisa membalas budi?”


 

Tujuh 


Tanpa melihat, aku tahu perempuan itu bergegas keluar kamar. Aku tentu saja tak peduli. Bagiku ada atau tak ada, dia telah sirna dari hidupku. Aku hanya menantikanmu. Aku tahu kamu pasti datang seperti janjimu. Aku menunggumu menjemputku. 


“Jangan khawatir, Lily. Aku akan belajar dan bekerja keras, kelak kita akan berkumpul kembali. Baik-baiklah dengan Ibu. Hei, jangan menangis. Kamu masih ingat kan mantra rahasia kita? Hitung sampai sepuluh yaa, aku pasti datang menemani dan melindungimu,” ucapmu berusaha menghiburku ketika kedua orang tua kita memutuskan berpisah. Kau ikut Ayah, pergi entah ke mana. Aku ikut Ibu yang tak lama kemudian menikah kembali dan melenyapkan masa kanak-kanakku. 


Delapan


Cepatlah datang, kumohon. Sepuluh tahun sudah aku bertahan bersama mimpiku bahwa kau akan datang menyelamatku dari liang derita ini. 

Lelaki itu melemparku ke atas kasur yang keras dan apek. Aku tak punya kekuatan untuk berontak lagi. Aku lelah mempertahankan satu-satunya milikku, percuma.  


Sembilan


Apakah kau akan datang kali ini? Kumohon, datanglah. Aku mulai lelah menghitung sebab mantra itu tak pernah lagi berhasil. Mungkin lelaki biadab ini benar, kau hanya sebuah dongeng yang hadir di masa kecilku, sama seperti sosok ayah yang perlahan bayangnya mulai menghilang. Yang nyata adalah dengkus napas memburu bercampur keringat lengket yang tengah merampok tubuhku.  


Sepuluh


Ah, kurasa kali ini berbeda, ada yang datang. Aku bisa melihat siluetnya di antara cairan gelap berbau amis yang mengalir melewati bulu mataku. Apakah itu kau? Apakah kali ini mantra itu bekerja? Akhirnya, aku tahu kau akan memenuhi janjimu, Kak. Aku lelah, habis dan kosong. Tolong, peluk aku …. 


Tamat



Untuk mereka yang tak memiliki suara untuk meminta pertolongan.


Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua