Antara Fajar dan Senja.

Sore itu, aku menghampirimu. Bersama sepoi angin Pantai Parangtritis yang menyejukkan. Kau ada di sana. Berdiri di depan kios kecil yang kita beli beberapa tahun lalu dengan wajah sumringah. Beberapa turis domestik maupun mancanegara nampak singgah. Bertanya-tanya seputar harga barang yang kau jajakan. Kemudian menawar setipis bibir yang dipamerkan.


Belum puas, dia juga mengolok-olokmu. Sebab kau tak mengiyakan penawaran mereka. Terlalu. Aku benar-benar tak bisa lagi tinggal diam. Kakiku telah melangkah, hampir menghampiri kalian. Memaki orang yang tak berperasaan itu. Namun, niat itu kuurungkan karena aku melihat kau tetap tersenyum tulus. Menolak dengan cara yang halus. Aku memalingkan wajah. Tak tahan melihat wajah cantikmu yang selalu saja menyunggingkan senyuman walau hakikatnya hatimu terluka.


Di saat itulah kau memanggilku. Mau tak mau, aku pun menoleh. Tak kusangka kau sudah ada di depanku. Mengulurkan tangan. Iya, aku ingat ini adalah hal pertama yang selalu kita lakukan saat berjumpa.


Detik itu, aku tertegun. Jemarimu masih dalam genggamanku. Semakin kasar. Berbeda jauh dengan tanganmu sebelum kita menikah. Banyak guratan kasar yang menghiasi tangan mungilmu.


Ah, Senja. Seberapa keras kau berjuang melawan kerasnya dunia? Seberat apa beban yang harus kau pikul agar dapat tetap bertahan hidup?


Sayang aku hanya mampu meneriakkan pertanyaan itu dalam hati. Merasa jengah, kau pun menarik jemarimu. Berlari menuju tepian pantai. Lalu, di sanalah kita. Duduk. Bercanda. Menunggu senja. Salah satu fenomena alam yang sama dengan nama kau punya. Aku suka.


Senja itu, aku kembali terpana. Kau kembali melontarkan kalimat sederhana, tapi penuh makna. Ketika aku berkomentar tentang kiosmu yang terlihat sepi.


“Hari ini rejekiku memang sedikit. Tapi tak apa. Seberapapun rejeki yang kita dapat, harus tetap disyukuri. Karena Tuhan tak pernah ingkar janji. Masih ada esok tuk kembali mengais rejeki,” jelasmu bersahaja.


Senja, tahukah kau? Aku selalu suka kalimat-kalimat sederhana itu. Aku selalu suka penjelasanmu tentang pelajaran kehidupan yang tak kudapatkan di bangku sekolah.


Sulit untuk memulai, tapi ini harus kukatakan. Maaf, Senja. Mungkin ini adalah pesan terakhirku. Maaf aku telah menutupi rasa sakit ini dan memilih menyerah lalu pergi dari sisimu. Perlahan. Takdir kembali berbicara. Dia telah merindukanku. Dia ingin aku kembali ke sisi-Nya. Sekali lagi maaf. Aku bukan Tuhan yang tak pernah ingkar janji.


Kita hanya ditakdirkan menjadi pasangan duet yang saling melengkapi. Seperti fajar dan senja yang warnai angkasa. Seperti hujan dan teduh yang tak ditakdirkan bersama. Namun, kita selalu bahagia bukan saat melakukannya?


Kolaborasi Senja dan Fajar. Fenomena yang dinanti banyak orang. Aku sedih karena meninggalkanmu dalam kesendirian. Maafkan aku yang tak bisa terus menjagamu.


Senja, jika kau bersedih, terluka atau merasa mulai tak sanggup lalui rintangan yang ada, dengarkan lagu yang biasa kita nyanyikan saat duduk bersama menyambut malam. Bayangkan jika aku berada di sampingmu. Menggenggam erat tanganmu. Kau harus tahu. Aku selalu ada untuk menjadi sandaran hidupmu. Walau kini, kita berada di dua dunia yang berbeda. Ruang maupun waktu.


Bekasi, 18 Februari 2022

Rein Hudasediyani

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua