Menikmati Luka

“Apakah cara kasarnya itu adalah usaha melindungi ibu? Apakah itu caranya menunjukkan kekuasaan bahwa dia adalah pemimpin di dalam rumah?”


Aku melihat ibuku dipukuli lagi. Tanpa perlawanan. 


Menurutku dia tampak menikmati. Pasrah. Padahal tubuhnya penuh bekas pukulan. Ada banyak lebam kebiruan. 


Tapi, ibuku selalu berusaha menutupinya. “Enggak apa, nanti juga hilang kok sakitnya.” Selalu begitu jawabnya.


Di malam muram yang lain, aku melihat ibuku pingsan lagi. Kali ini pukulan ayah mendarat mengenai kepalanya. 


Tak ada kekhawatiran dalam gurat wajah ayah. Dia bahkan melangkah pergi begitu saja saat tubuh ibu tergeletak di lantai. 


Dan saat ibu sudah tersadar, ibu dijadikan alat pemuas hasrat berahinya. Aku juga melihatnya. 


“Enggak apa, memang sudah jadi kewajiban dan tugas Ibu.” Selalu begitu jawabannya. Jawaban yang selalu sama. 


Di petang yang lain, aku melihat ujung bibir ibu mengeluarkan darah. Sekali lagi ujung bibir itu sobek. 


Kali ini ayah menamparnya. Bolak-balik. Tapi, ibu selalu berkata, “Enggak apa, memang Ibu yang salah.”


Aku bertanya kepada ibu. Apa yang membuat ayah begitu sering menyakitinya? Apa yang ibu lakukan sehingga ayah terus memukulinya? Apakah kesalahan ibu fatal? Atau ayah yang tidak bisa menahan emosinya? Apakah ibu tidak bisa lari saja agar tidak disakiti lagi?


Ibuku menjawab dengan mata berkaca-kaca sembari memeluk tubuhku. “Ayahmu adalah kepala keluarga di rumah ini. Tugas Ibu menjalankan perintahnya.”


Sejujurnya aku tidak mengerti. Apakah kepala keluarga artinya boleh memukuli?


“Ibu enggak bisa pergi, apalagi meminta bercerai. Mau makan apa kita nanti, Nak. Ibu enggak punya pekerjaan. Belum lagi nanti dinyinyirin sama saudara-saudara kalau menyandang status janda. Ibu akan bertahan demi kamu. Kamu enggak akan kehilangan sosok ayah,” kata Ibu.


Ada rasa getir merayap di hatiku. Mengapa aku harus jadi alasan ibu bertahan? Apakah ibu tidak bisa berjuang dengan cara yang lain?


Aku bahkan tidak tahu bagaimana sosok ayah seharusnya. Apakah cara kasarnya itu adalah usaha melindungi ibu? Apakah itu caranya menunjukkan kekuasaan bahwa dia adalah pemimpin di dalam rumah?


Aku kemudian bertanya kepada ibu caranya menahan sakit bertahun-tahun. Dia menggeleng dengan lemah sambil berkata, “Ibu sudah tidak merasakan sakit apa pun, Nak.”


Mungkin memang benar pernyataan ibu soal itu. Bahwa jika terus menerus dijalani, toh lama kelamaan terasa biasa.


Itu pasti sama rasanya ketika teman-teman di sekolahku memukuliku. Mereka bilang aku terlalu pendiam. Menurut mereka, aku seperti orang aneh karena selalu menyendiri.


Aku memang tidak suka berinteraksi dengan banyak orang. Ketika berada di tengah kerumunan, aku akan lebih mudah panik. Tubuhnya langsung berkeringat. Bahkan aku bisa pingsan. 


Aku takut bertatapan dengan orang lain, selain ibuku. Aku bahkan takut berhadapan dengan ayahku. 


Aku tidak pernah pergi ke mana pun selain ke sekolah. Itu pun karena tuntutan ibu yang selalu memaksaku. Padahal aku tidak ingin sekolah. Karena aku takut harus berhadapan setiap hari dengan orang lain. Itu sangat menyiksaku.


Karena hal itulah, beberapa teman senang mengerjaiku. Mereka menertawakanku saat aku mengompol karena ketakutan.


Beberapa hari terakhir, mereka semakin brutal mengerjaiku. Mereka memukul, menendang, dan meludahiku. 


Aku tidak tahu salahku apa. Mungkin memang seharusnya aku diperlakukan seperti itu. Seperti ayah memperlakukan ibu.


“Enggak apa, nanti juga sakitnya hilang,” ucapku pada diriku sendiri. Bukankah itu kalimat sugesti paling mujarab seperti yang sering diucapkan ibu?


Aku selalu berbohong kepada ibu saat dia bertanya tentang luka di wajahku. Kubilang, aku terjatuh di jalan atau tergelincir di kamar mandi sekolah. Dia tidak melihat lebam di tubuhku yang kebiruan.


Mungkin ibu tidak akan pernah menanyaiku lagi soal luka itu. Beberapa saat lalu, aku menemukan tubuh ibu sudah terbujur kaku di lantai kamar. Ada darah yang merembes keluar dari kepalanya.


Aku terus memanggil-manggil namanya. Semakin lama semakin lirih karena ibu tak juga menjawab panggilanku. 


Mungkin ibu sedang menikmati lukanya. Mungkin ibu akan terbangun lagi nanti setelah dirasa sudah cukup kuat kembali.


Bukankah ibu selalu seperti itu? Selalu menikmati lukanya. Lalu ia akan bangun dan bertindak seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu. 


Aku mengedarkan pandangan. Kondisi kamar sangat berantakan. Baju-baju sebagian keluar dari lemari. 


Meski demikian, aku segera tahu tidak ada baju ayah. Mungkin dia sudah memutuskan untuk pergi meninggalkan kami.


Aku merasa ini hal yang sangat baik. Ayah tidak ada lagi di rumah ini. 


Aku duduk sambil mendekap kakiku. Kusandarkan punggung di tembok yang dingin.


“Cepatlah bangun, Ibu. Ayah sudah pergi. Sekarang kita bebas.” Aku berkata perlahan seraya menyentuh tubuh ibu yang mulai dingin. 


Tapi, ibu masih saja diam. Ah, ibu, tampaknya kau begitu menikmati lukamu kali ini.


Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua