Memeluk Luka

 “Ibumu itu gila!”

Kiara memilih diam mengunci bibirnya rapat-rapat setiap kata-kata itu meluncur dari mulut-mulut yang sesungguhnya ia tidak kenal betul. Jika melawan omongan itu, bisa jadi ia dianggap bodoh dan tak tahu diri. Toh, semenjak ia lahir, ia tak pernah melihat ibunya. Ia tak tahu harus membela dengan cara bagaimana. Ibunya meninggal beberapa hari setelah melahirkannya.

Berbagai penilaian yang ditujukan pada ibunya seperti lemparan batu-batu tajam pada gundukan tanah. Batu-batu dan kerikil tajam itu terhempas di atas gundukan tanah tanpa sedikit pun terjungkal ke tempat lain. Kecuali saat ada angin kencang yang itu pun tak kan muncul setiap hari. Ibunya sudah mati. Namun, lemparan-lemparan batu dan hantaman kerikil tajam masih dilemparkan bertubi-tubi.

“Kamu percaya jika ibumu itu tidak waras?”

Niyasa, kawan SMA-nya tiba-tiba bertanya. Entah dari mana ia turut mendengar ucapan itu. Mungkin dari mama tirinya, atau ayahnya sendiri saat ia berkunjung ke rumahnya untuk sekedar ngobrol atau mengerjakan tugas kelompok bersama. Kiara tak menggeleng ataupun mengangguk. 

“Aku tidak tahu.”

“Pernahkah kau berpikir untuk cari tahu?”

Pertanyaan Niyasa menjadi begitu menarik baginya. Cari tahu? Selama ini ia tak pernah berpikir seperti itu. Ia lebih memilih diam dan menerima semua penilaian buruk tentang ibunya. Bahkan, termasuk perkataan ayahnya. Sesekali ia melawan dengan tidak menuruti perintah ayahnya. Sesekali ia membolos sekolah, sesekali ia membuat masalah di sekolah agar ayahnya dipanggil oleh guru BK. Namun, justru tamparan dan caci maki tak terhingga yang ia terima.

“Kau memang mirip ibumu! Bodoh dan selalu bikin masalah!”

Ia merasa, berbagai tingkah dan masalah yang sengaja ia buat semakin memvalidasi kelakuan buruk ibunya yang dihubungkan olehnya. Maka, ia memilih untuk tak perlu tahu. Mungkin saja karakternya benar-benar menurun dari ibunya. Tapi, mencari tahu? Apa untungnya?

“Semua orang juga menganggap ibuku bodoh dan gila. Tapi, menurutku tidak. Setelah bercerai dengan ayahku. Aku baru tahu, ibuku tidak bodoh dan gila.”

Niyasa bercerita dengan penuh kedalaman. Matanya tampak berkaca-kaca. Yang Kiara tahu, ia tumbuh dan besar hanya bersama ibunya. Ia baru menyadari bahwa ada hal rumit yang sahabatnya harus hadapi. Ada kecaman, tuduhan yang pasti sangat menyakitkan. Kiara tak pernah sadar bahwa berbagai kecaman itu bisa sangat menyakitkan. Atau karena ia sudah merasa biasa dan pantas untuk mendapatkannya? 

****

Suara riuhnya kendaraan di kota seolah ingin mengambil alih semua yang ada pada otak Kiara. Merampas semua keheningan dalam otaknya. Mengalihkan semua luka perih yang dirasakannya. Ia selalu meyakinkan bahwa tak ada keperihan yang harus ia rasakan.

Semua sama saja. Semua memang harus berjalan seperti itu. Namun perih itu tak dapat dipungkirinya saat ia menggenggam erat buku harian milik ibunya. Serta kisah-kisah dari beberapa kawan ibunya tentang siapa sesungguhnya ibunya.

“Pergilah kau. Memang sudah saatnya kau pergi melangkah ke luar. Jika memang ada yang ingin kau capai. Kau sudah lulus. Maka, tak ada lagi tanggung jawab dariku untukmu. Tapi, jangan pernah kau menerima belas kasihan dari siapa pun hanya karena kau memiliki luka itu.”

Pesan mama tirinya begitu melekat erat dalam benaknya. Setelah ayahnya meninggal dan ia berhasil lulus kuliah dengan menahan diri dari segala umpatan ayah dan mama tirinya, ia berpikir inilah saatnya untuk pergi.

Ia memiliki adik-adik yang lahir dari rahim mama tirinya. Tapi tak jauh beda. Mereka pun turut serta mengungkit-ungkit ibunya. Sama persis yang dilakukan ayah dan mama tirinya. Ia serasa tak layak dilahirkan karena ia berasal dari rahim seorang ibu yang gila, depresif, dan berkelakuan buruk. 

Saat ia menginjakkan kakinya di kota besar negeri seberang, ia baru menyadari bahwa menjadi penulis adalah impian sesungguhnya. Itu juga yang dilakukan ibunya dulu. Ibunya seorang penulis fiksi yang ternama. Mungkinkah kutukan itu sudah ia dapatkan semenjak ia dilahirkan? Yaitu memiliki segala sesuatu kemiripan dengan ibu, termasuk impiannya.

Saat tulisannya berhasil masuk dalam media-media besar, ia mulai mendapat tawaran bekerja di sebuah penerbitan di negeri seberang. Ia membawa segala yang ia perlu bawa dan tentunya buku harian milik ibunya.

“Ibumu itu hebat. Dia penulis hebat. Dia tidak gila.”

“Kau beruntung memiliki ibu seperti itu. Ibumu orang kuat dan hebat.”

“Lebih baik kau percaya bahwa ibumu adalah perempuan yang baik.”

Berbagai komentar tentang ibunya dari rekan-rekannya terdahulu tentu saja ia dapatkan dari lingkar pertemanannya sebagai penulis. Kiara ingin menutup mata. Namun, seperti Niayasa pernah bilang, agar ia mencari tahu sendiri. Betulkah aku terlahir dari seorang ibu yang gila? 

Lembaran demi lembaran buku yang menurutnya lebih menceritakan tentang opini serta apa yang dirasakan ibunya ia baca berkali-berkali. Mama tirinyalah yang memberikan buku harian itu. Entah dari mana ia dapat. Kiara memilih untuk tidak bertanya. Ia menerimanya. Karena itu, mama tirinya menyebutkan ia memiliki luka? Ia sendiri tidak tahu apakah ia terluka atau tidak. 

Lembaran-lembaran berisi tulisan tangan ibunya tertulis rapi. Tak sedikit pun ia temukan tulisan ibu yang menunjukkan ketidakstabilan emosinya. Kata-katanya terjaga dengan baik. Bahasanya sangat manusiawi dan mudah dicerna. Dalam tulisan itu, ibu begitu hangat dan penuh kasih sayang. 

Ia kemudian masuk pada lembaran-lembaran di mana ia mulai menceritakan kisah percintaan dengan ayahnya. Ibunya menuliskan bagaimana ayahnya begitu mencintainya. Ia memutuskan menerima lamaran ayahnya karena ayahnya menyatakan cinta dengan tulus dan menunjukkannya dengan cara yang begitu menyentuh.

Kiara mulai membuka lembaran berikutnya dan berikutnya. Ia mencari catatan ibu yang berbeda, yang bercerita tentang bagaimana ayah melukainya. Namun, ia tak menemukan satu kalimat pun. Ia tak menemukan bahkan satu baris pun. 

“Betulkah ibuku gila?” gumamnya dalam hati.

Ia kembali menelusuri waktu kelam yang pernah ia masuki. Saat di mana tak seorang pun mampu menggambarkan bagaimana sosok ibunya. Saat siapa pun meyakini apa yang beredar. Ibunya gila dan tak mampu berpikir waras. Ia yang harus menerima tanpa bisa protes sedikit pun karena dianggap menurunkan sifat ibunya. 

Beberapa pukulan, hinaan yang tak sedikit datang justru dari ayahnya sendiri. Ia hampir saja tak merasakan apa-apa. Mati rasa. Bahkan untuk sekedar peduli mencari kebenaran. Namun, saat usianya mencapai dua puluh lima dan ia berada di negeri seberang, semakin besar keinginannya untuk mengetahui keadaan sesungguhnya.

Buku diari ibunya masih dalam genggaman tangannya. Perih semakin ia rasakan.

Ibu tidak gila. Ibu hanya sedikit tertekan. Ibu hanya mencoba melempar rasa sakit karena pukulan-pukulan tajam dari ayahnya. Kiara ingin membungkam mulut-mulut itu. Tetapi, ia tak memiliki apa pun untuk membungkamnya.

Di sudut ruang apartemen yang ia huni di negeri itu, ia meilhat sosok anak kecil yang menelungkupkan tubuhnya. Matanya seolah ingin berbicara banyak. Ia mendekat dan mendekapnya erat. Luka itu ternyata begitu perih. Luka yang selama ia abaikan mentah-mentah. Yang sama sekali tidak ia pedulikan, tiba-tiba menganga semakin besar memberikan kesempatan banyak bagi waktu dan kenangan untuk menggali lebih dalam.

Ia menangis tergugu masih dengan memeluk gadis kecil itu seraya berkata, “Tak apa. Semua sudah berlalu. Percayalah. Kita bisa menangis bersama. Tapi, hanya untuk saat ini.”

Hatinya meneguhkan, “ibuku tidak gila.”

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua