Perpisahan Tanpa Kata

 Sebuah pesan pendek menyergap ponsel Angga Kurnia.

“Aku di Jakarta,“ pesan singkat yang membuat ia batal memasuki lift. Ia menekan tombol hijau pada nama itu.
“Halo,“ suara perempuan itu terdengar mesra.
“Oh, hai. Kau sampai kapan di Jakarta?“ Angga tak mampu menyembunyikan rasa gembira. Bagaimanapun, mantan kekasih selalu menimbulkan rasa yang tak dapat dijelaskan dengan logika.
Sore itu seharusnya cerah. Jakarta terkadang penuh dengan kesenangan, tapi bisa saja berubah menjadi tempat terkutuk. Ketika hujan tiba-tiba mengguyur hebat, dan sukses membuat kemacetan menjadi lebih gila dari biasanya, itulah terkutuk tahap pertama. Taksi-taksi tidak menyalakan lampu biru, artinya dia sudah terisi. Itu terkutuk tahap dua. Angga mengumpat sambil membuang rokoknya yang belum sepenuhnya terisap. Ia tak mau berisiko menggunakan mobil dengan pelat nomor cantiknya.
Betapapun hasratnya membuncah untuk menunjukkan pada mantan kekasih bahwa ia telah berhasil, ia tetap punya kendali atas segala kemungkinan. Bertemu mantan pacar, setelah tujuh tahun sejak ia memutuskan menikah dengan orang lain?
Di suatu tempat, tujuh tahun silam…
“Hai, kau di mana?“ telepon itu mendadak membuat ia bingung.
“Angga sayang, kau sedang di mana?“ perempuan itu mengulangi pertanyaan disertai nada cemas. Angga tak mampu mengucapkan kata, setelah satu jam lebih ponselnya tak bisa dihubungi. Jawaban apa yang harus diberikan pada kekasihnya yang telah bersetia selama enam tahun menjalin hubungan jarak jauh dengan sebulan dua kali pertemuan? Mereka terlalu dekat satu sama lain meski dalam jarak lebih dari 700 kilometer.
“Aku di Medan.“ Kemudian jeda, seperti ada embusan angin yang mendorong keduanya untuk menjauh satu sama lain. Pulang dan tidak berkabar? Tanya perempuan itu dalam hati.
“Maaf, aku tidak bilang padamu. Ayah sakit.“
Telepon itu disudahi dengan suasana serba kaku. Perempuan itu terlalu peka terhadap situasi. Seorang ayah yang sakit, keluarga besar akan berkumpul, menanyakan anak sulung yang belum juga menikah, rasa khawatir, bagaimana keturunan bisa dilanjutkan. Itu biasa, sangat klise. Perempuan itu mengerti apa yang harus dilakukan. Angga sudah 37 tahun dan belum menikah. Ia paham kisah selanjutnya.
“Kenalkan, ini Dewi,“ suara Angga ragu. Dewi adalah sosok perempuan tanpa riasan, bermata belok dengan dada tipis, dan rambut bergelombang. Menurutnya, itu jenis yang kurang sepadan dengan masa depan lelakinya. Lelaki bertubuh sempurna dan pekerjaan yang menjanjikan: penyiar TV terkenal.
“Jadi kapan kalian akan menikah?“ pertanyaan pedas yang menohok dada Angga, yang bahkan mengucapkan perpisahan saja belum. Dewi terbengong-bengong. Ia menatap kedua manusia itu dengan pikiran kacau. Kekasih Angga telah lama ia kenal namanya, tapi baru kali ini berhadapan. Perempuan matang, profesional, seolah tak punya perasaan. Cantik? Iya, Dewi terguncang cemburu. Kemudian ditatapnya mata Angga yang sangat berbeda. Ketika perempuan itu belum tiba mata Angga tampak biasa saja. Kini, mata itu bergairah dan berbinar binar. Juga cara bicaranya menjadi berapi-api. Dewi menyingkir, berdalih ke toilet.

“Aku berharap anak kalian perempuan semuanya. Boleh kan seorang mantan kekasih berdoa paling buruk buat kekasihnya yang menikah demi keturunan?“

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua