GALAU


"Kenapa bisa kacau begini, sih? Kita sudah atur dari jauh-jauh hari. Kok, masih aja ada yang enggak beres," omel Farra. Tatapannya berpindah-pindah dari wajah tenang Wisnu ke wajah panik Diana. Dia menggigit bibir seraya mengetukkan telunjuk dan jari tengahnya di meja dengan nada tak beraturan, sekacau perasaannya.


Wisnu mengelus punggung Farra untuk meredakan kepanikan sang calon istri. Dia tahu betul sifat Farra yang perfeksionis dan selalu ingin segala sesuatu sempurna sampai ke detail terkecil. Apalagi untuk urusan pernikahan mereka. 


Pagi itu cuaca cukup cerah, tetapi bertolak belakang dengan keadaan di ruangan yang didesain minimalis modern itu. 


"Kamu santai aja. Biar Mbak Diana yang urus,” ujar Wisnu melirik ke arah Diana yang tampak merasa bersalah. Wisnu berusaha menebak berapa calon pengantin yang datang ke kantor Diana sambil marah-marah seperti ini.


"Santai gimana? Pertunangan kita, tuh, bulan depan. Kalau pertunangan mungkin kita masih bisa pakai katering yang skala lebih kecil. Lha, untuk perkawinan mana mungkin? Perkawinan kita itu tinggal tiga bulan lagi, lho! Jangan-jangan Mas juga enggak ingat, ya?" tuduh Farra dengan suara makin meninggi.


"Farra, mana mungkin aku lupa tanggal pernikahanku sendiri, " sahut Wisnu, berusaha untuk tidak terpancing kemarahan Farra. Saat Farra seperti ini, dia seperti berjalan di atas ladang ranjau. Salah langkah bisa mati meledak. Pengalaman menjadi CEO beberapa tahun dengan kemampuan menangani masalah-masalah rumit, tidak lantas membuatnya lebih ahli menghadapi Farra yang uring-uringan. Tetap saja dia harus menekan egonya sebagai laki-laki.


"Tapi, enggak banyak katering yang enak yang sanggup melayani undangan lima ribu orang. Kita bisa jadi bahan gunjingan kalau makanannya nggak enak. Kamu ngerti, nggak, sih, Mas?" Farra masih saja ngotot. Dia seperti menjadi sosok asing saat sedang tertekan. 


"Iya, aku paham. Tapi emosi tidak akan. menyelesaikan masalah, Sayang. Beri kesempatan Mbak Diana untuk mencari pengganti. Bisa kan, Mbak?" 


"Semua sudah sesuai konsep. Hanya pihak katering yang mengundurkan diri. Siang ini saya akan hubungi kenalan saya yang lain. Mbak Farra tenang, ya," ucap Diana mencoba menengahi.


Farra berusaha mengatur napas agar lebih tenang. "Oke. Saya tunggu kabarnya, Mbak. Tolong jangan bikin saya senewen."


Ucapan Farra yang terdengar setengah mengancam ditanggapi Diana dengan anggukan dan senyum maklum. Perempuan itu sudah cukup berpengalaman menghadapi calon pengantin yang naik tensinya ketika hari H sudah dekat tetapi masih saja ada masalah yang muncul.


*** 


Beberapa waktu berselang, Farra menenangkan diri dengan menghubungi sahabat dekatnya, Paul atau yang dikenal dengan nama panggung Pauline. 


“Woles, Say. Kamu jangan marah-marah sama Mas Wisnu, dong. Dese, kan, tinta salah. Entar, kamu ditinggalin malah berabe. Kamu mau jadi berita viralnya Mak Lambe? Model terkenal batal nikah karena bertengkar dengan mantan calon suami gara-gara katering. Ya ampun, Nek … tinta luncang bingit!"


Farra membalikkan badan, tengkurap di ranjang dengan ponsel terjepit di bahu kanannya. Dia tergelak mendengar gurauan Paul yang meski kadang konyol tetapi cukup menghibur dengan kosa kata bences salonnya yang sering bikin mumet orang di rumah Farra. Gara-gara gaya bicaranya, Paul sering dikira banc* sungguhan, padahal itu hanya tuntutan pekerjaan. Di dunia pertunjukan drag queen, Paul harus mendalami pekerjaannya dengan totalitas, seperti saat dia mementaskan lakon teater ketika masa sekolah dulu.


“Ya, emang enggak lucu banget. Amit-amit, deh. Aku tahu, aku enggak boleh gitu, cuma aku panik. Kamu bayangin aja, waktunya udah mepet gini.”


“Mbak Diana itu jam terbangnya udah tinggi. Kliennya tinta kaleng-kaleng, bok. Aku yakin dese sanggup mengatasi masalah ini.” Paul berusaha meyakinkan sahabat baiknya.


Farra mendengkus seolah-olah ingin membuang kegundahannya. 


“Udin, tinta perlu mendengus kayak kuda gitu. Rileks, Say. Adinda kafe baru di sindang, nongki bentar, yuk, biar otak tinta butek. Mawar tinta? Mumpung eike masih di kantor, nih,” tawar Paul, pandangannya terarah ke kafe baru di seberang kantornya. 


Farra menatap langit-langit kamarnya yang estetik dengan paduan warna putih dan ungu muda seraya menimbang-nimbang tawaran Paul.


"Mau, deh. Tapi bentar aja, ya. Nanti ada yang ceramah, udah mau tunangan masih nongkrong enggak jelas."


"Sapose, mamamu?"


"Siapa lagi? Kayak, enggak tahu Mama aja."


***


Suara riuh tepuk tangan memenuhi venue ketika Farra menutup acara dengan ucapan terima kasih. Dia melenggang di panggung bersama seorang pria berwajah oriental, pasangan MC-nya malam ini.


Farra yang tinggi langsing semakin terlihat sempurna dengan heels yang dipakainya. Gaun hitam elegan dengan belahan rendah lebih banyak mengekspos daripada menutupi lekuk tubuhnya. Tidak hanya kaum adam, beberapa perempuan berdecak kagum dengan penampilannya malam itu. 


Langkah Farra terlihat anggun meski lelah menderanya. Hampir dua jam dia menjadi MC pada acara ajang penghargaan musik nasional yang dirayakan oleh salah satu stasiun televisi swasta.


Setelah mengucap terima kasih kepada rekan kerjanya, Farra mengitari panggung menuju Wisnu. Pria dengan penampilan modis itu ikut menonton acara bersama keluarganya.


"Kamu hebat." Wisnu memeluk kekasihnya. "Aku selalu mengagumimu ketika berada di atas panggung."


"Jadi, kalau aku enggak berada di panggung, kamu enggak mengagumiku, gitu?" Bibir ranum Farra mencebik. 


Wisnu tertawa ringan mendengar celoteh calon istrinya. Gadis itu tampak lucu dan menggemaskan dengan mimik kesalnya yang dibuat-buat. Itu salah satu daya tarik Farra di mata Wisnu. 


"Dih, dicariin ke mana-mana, rupanya ada di sindang." 


Farra dan Wisnu menoleh ke arah suara. Seorang pria berkulit putih datang mendekat. Dengan santai ia memegang pundak Farra lalumemutar tubuh gadis itu untuk mengamati penampilan sahabatnya. 


"Cantik banget, sih. Eike mau dong, pinjam gaun ini buat acara minggu depan. Boleh?" godanya dibalas dengan colekan oleh Farra. 


Wisnu tersenyum melihat keduanya. Ini kali pertama dia bertemu dengan sosok Paul. Dia sudah sering mendengar tentang Paul dari Farra, hanya saja baru kali ini mereka benar-benar bertemu. Jadi dia tak perlu merasa cemburu atau curiga. 


"Farra, ini calon suamimu?" Paul yang menyadari keberadaan Wisnu di sana pun menatap pria itu sambil tersenyum ramah. Sebelum bertemu Wisnu malam ini, Paul sudah beberapa kali melihat foto Wisnu pada wallpaper ponsel Farra. 


"Cakep. Pantesan Farra tinta bisa pindah ke lain hati. Udah mentok." 


Pria kemayu itu menyalami Wisnu dengan bersemangat, tetapi dengan cepat Farra menarik tangan sahabatnya dengan ekspresi pura-pura resah. 


"Jangan lama-lama salamannya. Nanti ada yang belok. Bikin resah aja."


Ketiganya tergelak, sama-sama paham itu hanya gurauan. Paul pun tampaknya tidak tersinggung. Kalimat seperti itu kerap kali dituduhkan kepadanya, dia sudah kebal mendengarnya. Namun, andai bukan Farra yang berucap, mungkin akan beda efeknya. 


"Bagaimana soal kateringnya? Apa Diana sudah memberi kabar?" Farra menatap Wisnu berharap bisa mendengar berita baik. Sejak pertemuan mereka dua hari yang lalu, Diana sama sekali belum mengabari lagi, sementara acara pertunangannya sudah makin dekat. 


Sayangnya kali ini pun Wisnu menggeleng. Raut wajah Farra seketika berubah kesal. Segera dia mengambil ponsel dari tas yang menggelayut di lengan kirinya.


"Paul, kamu temani Mas Wisnu dulu. Aku mau telepon Diana. Udah dua hari, kok, diam-diam aja. Harus banget dicariin. Huh!"


Farra menghubungi Diana dan sedikit menjauh dari Wisnu dan Paul. Gadis keras kepala itu tampak sangar saat sedang marah. Tak peduli sudah pukul sebelas malam, dia merasa harus menyelesaikan urusan katering itu dengan Diana atau pesta pernikahan impian yang telah dia dan Wisnu rancang dari jauh-jauh hari akan berakhir berantakan. 


"Farra kalau marah galak, ya?" cetus Paul  sembari menatap punggung Farra yang menjauh.


"Iya, persis seperti ayahnya," jawab Wisnu pelan diiringi helaan napas berat. Dia sungguh ingin melihat Farra tenang dan tidak terus merasa galau. Jangan sampai gadisnya marah memikirkan hal yang seharusnya menjadi tanggung jawab Diana sebagai wedding organizer.


Di balkon ruangan yang sepi pengunjung, Farra berbicara dengan Diana. Wajahnya mengetat, tak ada senyum sedikit pun yang tersemat di sudut bibirnya. Nada suaranya meninggi, beberapa kali membentak WO-nya.

 

"Pokoknya aku tak mau tau! Besok pagi, aku harus sudah mendapat berita yang memuaskan! Jangan jadi WO yang enggak profesional, Mbak. Aku sudah bersedia bayar mahal untuk jasa kalian."

 

Wisnu yang melangkah mendekat setelah berpamitan dengan Paul hanya bisa menggeleng mendengar ucapan tunangannya. Ia menyentuh bahu Farra membuat gadis itu menoleh.


"Jangan terlalu menekannya, Sayang. Mbak Diana pasti melakukan yang terbaik. Percaya sama dia."

 

"Kamu selalu saja begitu. Terlalu menganggap enteng semuanya. Aku tidak mau acara pernikahan kita berantakan!" Farra mendengkus. Dia masih bicara tanpa mematikan sambungan telepon, seakan-akan sengaja ingin agar Diana mendengarnya. "Pokoknya aku tidak mau tau, besok urusan katering ini harus sudah beres atau kita cari katering sendiri dan dia harus membayar ganti rugi karena tak mampu mengurusi pernikahan kita dengan baik."

 

Wisnu menoleh layar ponsel Farra yang masih menyala, yakin Diana yang mendengar kata-kata Farra tidak akan bisa tidur malam ini. Segera Wisnu mematikan sambungan ponsel itu tanpa permisi.

 

"Kamu nggak boleh begitu, Far. Kita harus percaya semua akan berjalan lancar. Kamu nggak bisa handle semua pekerjaan seorang diri." Pria itu mengusap bahu Farra dengan lembut. "Aku percaya pada Mbak Diana. Dia telah mengurusi banyak sekali wedding party dengan sempurna, jadi kita tunggu saja hasilnya gimana, ya."

 

Sejatinya Farra masih belum mau menerima pendapat Wisnu, tapi demi menghargai kekasihnya, dia mencoba mengendalikan emosinya.

 

"Tapi, besok kalau belum ada kabar, kita cari katering sendiri," ucap Farra melunak.

 

"Iya, aku akan membantumu menemukan katering terbaik."

 

Farra pun tersenyum mendengar perkataan Wisnu. Mereka berdua kembali menemui Paul yang masih menunggu sambil memperhatikan cowok-cowok macho yang menjadi bodyguard artis dan aktor terkenal yang menghadiri ajang bergengsi itu.


*** 

Bagaimana ini? Apa aku harus membantu Diana? batin Vivian sambil memijit dahinya, bingung.


Dia ingin sekali membantu Diana, apalagi acara akbar yang sedang ditangani oleh sahabat baiknya itu adalah acara pernikahan seseorang yang sangat berarti baginya. Namun, dia juga teringat akan semua kenangan dan peringatan Hirawan.


"Dia anakku. Jangan pernah juga kamu menampakkan diri di hadapannya. Hapus semua hubungan yang ada di antara kalian berdua!"


Vivian menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, semua kenangan di masa lalu kemudian berputar kembali dalam ingatan. Semua seperti sebuah kaset rekaman yang berjalan di depan mata. Kalau dia datang dan membantu Diana, maka bukan tidak mungkin semua masalah di masa lalunya akan terbuka kembali. Namun, jika dia tidak membantu Diana, putri dan sahabatnya bisa berada dalam kepanikan masing-masing.


Vivian harus bijak juga dalam menyikapi hal ini, tidak boleh sembarangan mengambil keputusan. Satu langkah saja salah berjalan, segala hal yang tadinya baik-baik saja bisa berubah menjadi kacau. 


Adalah keinginan terbesar Vivian untuk bertemu dengan Farra, melihat bagaimana bayi kecilnya dahulu itu berbahagia sekarang. Namun, lagi-lagi ancaman yang diberikan oleh Hirawan terasa begitu nyata. Bagaimana kalau pada akhirnya semua orang tahu tentang asal usul dan masa lalu Farra? Bukankah hal itu justru akan memberikan masalah baru terhadap putrinya itu? Vivian berpikir bukan untuk dirinya, tetapi semata-mata untuk sang putri.


Vivian terduduk lesu, pikirannya mulai semrawut. Dia terus bergelut dengan keinginannya sekarang, sekaligus kenyataan di masa lalunya. Selembar kertas hasil pemeriksaan laboratorium yang baru saja diterimanya berada dalam genggaman Vivian. Sambil meneteskan air mata, wanita yang masih terlihat cantik di usia yang tak lagi muda itu pun mengambil ponselnya dan menghubungi Diana.


"Halo, Di ...."


Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua