Nadia Dera



Namaku Nadia, usiaku saat itu menginjak 6 tahun. Duniaku hening, tanpa suara. Walau sudah berusia 6 tahun aku belum bisa berbicara dan bermain seperti anak seusiaku.


Mamaku, Ana, penuh kasih dan sayang merawatku. Kata orang, aku anak berkebutuhan khusus, anak spesial kiriman Tuhan kalau kata mama. Aku mengidap autis, namun orang tuaku khususnya mama menerimaku dengan cinta mereka.


Suatu hari mama membawa pulang Dera dan memperkenalkannya padaku. Duniaku serasa berwarna dan aku bahagia atas kehadiran Dera.


Kemana aku dan mama pergi, Dera selalu ikut. Seperti hari ini aku pergi untuk terapi. Mama tak pernah lelah berusaha agar aku bisa berbicara dan beraktivitas seperti anak lainnya. Memasuki ruang terapi Dera berlari kesana kemari, aku tertawa dan itu suara pertamaku. Dan perhatianku sekarang terpusat pada Dera.


Di dalam rumah, Dera berguling, aku ikut berguling. Dera melompat, aku pun melompat. 


Halaman belakang rumah kami ada kolam renang, Dera terjun kesana, aku mengikuti. Saat itu mama menjerit melihat kami sudah berada di dalam kolam renang. Mama tahu aku tidak bisa berenang bahkan berjalan pun sungguh menyulitkan. Perhatianku hanya melihat dan mengikuti Dera, Dera berenang hingga ke pinggir kolam. Bersama, kami tertawa. Mama memelukku erat dengan wajah penuh haru dan bahagia. Aku bisa berenang.


Dokter berkata, "Nadia dan Dera saling terkoneksi, kita jadikan Dera sebagai salah satu media terapinya."


Sejak saat itu aku dan Dera adalah satu kesatuan.


Aku mulai menyukai bermain sepeda dan menaiki kendaraan. Karena Dera menyukai dua hal itu. Padahal sebelumnya aku takut akan dua hal tersebut, dan itu cukup merepotkan keluargaku, khususnya mama.


Satu ketika aku melihat warna warni dan benda putih, aku mulai menggoreskan benda warna warni pada benda putih. Semua orang memujiku, dan aku menyukainya.


Aku dan Dera banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Banyak yang bisa aku hasilkan dari benda warna warni dan benda putih itu. Semakin banyak aku membuat, semakin banyak pula pujian aku terima.


Mama mengatakan kegiatan kesukaan aku ini adalah melukis. Iya, aku dan Dera menyukai melukis.


Duniaku masih sunyi, mama masih terus berusaha agar aku bisa berbicara. 


Bagiku suara Dera begitu menenangkan aku. Dia suka sekali mengitari diantara dua kakiku. Aku sering bermimpi buruk, tapi setengah sadar aku melihat ekor Dera bergerak seakan menenangkanku. 


Aku menyukai ketika angin meniup rambutku, begitu juga Dera senang sekali kala angin berhembus di sela bulunya. Kami suka udara segar diluar, sering kami mengadakan pesta teh ala anak gadis di halaman rumah.


"Dera, apa kau mau teh yang manis atau tidak?"

"Meooong..."

"Berapa sendok gula? Segini cukup?"

"Meoong, meoong."

"Silahkan dimakan kue manis ini Dera."

"Meooong."


Mama mengintip dari balik jendela rumah, seakan tak percaya. Mama berjalan perlahan mendengarkan aku bicara. Iya, aku bicara dengan Dera kucing manis pemberian mama yang membuat duniaku tidak sunyi lagi sekarang.


Usiaku kini sepuluh tahun. Aku dan Dera tetap bersahabat hingga kini.


"Persahabatan anak saya dan Dera membuat saya sadar bahwa sesuatu dari hati akan sampai ke hati, ketulusan cinta Nadia ke Dera pun dibalas oleh kucing itu dengan penuh cinta," 


Lihatlah, mama sekarang sering kedatangan tamu para presenter televisi. Salah satu alasannya adalah karena aku mantan anak autis yang divonis tidak akan bisa berbicara ternyata mampu berkeliling dunia dan berbicara di depan banyak orang memperkenalkan hasil karya lukisku. 


Karya lukis yang masuk jajaran karya dari pelukis terkenal dengan harga lukisan mencapai 28,5 juta rupiah untuk satu lukisanku.


Tamat


Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua