Muasal Cerita

Tak dinyana, sungguh lika-liku perjalanan menuju titik permikahan tak seperti yang dibayangkan sebelumnya. 


Tak seperti sekedar rencana atau citraan-citraan yang biasa menlintas di benak. Berasal dari satu momen ketika itikad terpancar demikian kuatnya, maka atas panduan-Nya, langkah-langkah pun terus berayun.


Penggal demi penggal kisah, pertanda demi pertanda pun akhirnya membawa kami pada sebuah pertemuan istimewa ini.


Seperti perumpamaan yang digunakan dalam risalah yang penuh nasihat kebijaksanaan. Langit dan Bumi: Laki-laki dan Perempuan memang diciptakan-Nya dalam fitrah-Nya yang sungguh berbeda.


Satu sama lain saling memberi, saling mengisi, saling menyempurnakan. Semua tertakdir demikan karena kebutuhan yang satu memang hanya bisa terpenuhi oleh yang lain.


Bila tidak bertemu, apa yang dibutuhkan oleh masing-masing tak akan pernah terpenuhi, tak pernah pula mencapai keutuhan, apalagi menyentuh kesempurnaan. Bahkan ibadat yang satu seolah hampa dan tak sungguh ada bila yang lain tak ada.


Ditengah kenyataan tentang fitrah Laki-laki dan Perempuan yang memang sudah telak berbeda tersebut, acap kali masih pula diwarnai dengan kepekatan karakteristik khas serta keunikan kisah latar antara keduanya.


Kusebutkan lagi, kisah kami memang seperti yang dibayangkan. Adalah tentang dua insan berbeda latar keadaan, haluan, serta cita kehidupan yang sungguh berbeda. Kisah ini memang tentang berpadunya ketegasan dan kelemahlembutan, keteguhan dan kesyahduan. Atau sekiranya khasnya tabiat sang Langit dan khasnya perangai sang Bumi, juga seiring bakat yang kelebihan yang dianugerahkan pada keduanya 


Ajaibnya, diantara perbedaan pada dua hal yang disebut pasangan, selalu saja ada sebuah irisan. Irisan yang sering kali isinya lebih pekat. Ada kalanya kepekatan itu membuat apa-apa yang ada di luarnya seolah tak lagi berbeda.


Irisan  semacam itu ibarat keindahan binar-binar cahaya ufuk Langit timur yang tengah menyentuh pelipis Bumi di penghujung cakrawala sana. 


"Langit nan indah, kilau sinar mentari yang menyilaukan kini telah meredup. Aku, sang Bumi pun semakin renta tak mampu menopangmu. Tangan-tangan halus telah memudar, namun cintaku tidak pernah termakan usia."


"Bumiku yang perkasa, cinta kita boleh berbilang usia namun binar cahayanya takkan pernah meredum. Cahaya Langitku tetap terpancar untukmu."


Di akhir cerita kelak, semoga irisan perpaduan yang tergambarkan tidak lagi irisan mungil seperti di kisah awalnya. Melainkan keseluruhan dari apa yang sebelumnya tergambar sebagai di hal yang berbeda tersebut. Sebuah harmoni agung dua insan yang bersatu melalui segenap bekal daya yang telah dianugerahkan-Nya.


Bila tak cukup ada bekal yang mendayai, bila tak cukup pertanda yang terbaca, bahkan jika bukan Dia yang sungguh-sungguh menghendaki dan menitahkan, tentu sudah cukup untuk mengoyak-oyak hati yang tercerai.


Mungkin tiada akan mengira jalan yang dilalui hampir menjebloskan babak cerita pada satu tapal batas menuju jurang tak berujung. Disitulah kepekatan pada tiap irisan memainkan peranannya 


"Jika Tuhan menakdirkan Langitku harus runtuh diatas Bumi, maka itu semata-mata murni bukan keinginanku. Langitku tetap elok dimata tanah Bumi."


"Daya tarik Bumi sesuai hukum gravitasi takkan pernah bisa melayangkan isinya, disanalah Bumi menjadi yang teristimewa, tiada yang mampu mempererat jalinan selain daya tarik tersebut."


Berawal dari permintaan sederhana yang terucap, maka Tuhan merestui dalam ikatan suci yang mengikat janji Bumi dan Langit tuk tetap menjadi pasangan.

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua