Lelah

Namanya Sabira, berusia 25 tahun. Bobot tubuhnya 110 kg dengan tinggi badan 155 cm. Kegemaran yang dimilikinya membuatku lelah.


Ingin aku beristirahat, nyata waktu istirahatku hanya saat dirinya tertidur lelap. Bahkan saat tidurpun dirinya mengoceh tak karuan dalam tidurnya, biasa disebut mengigau.


Terkadang ingin aku pergi meninggalkannya, karena aku berpikir, akulah yang paling sering bekerja keras untuknya. Tapi aku tersadar akan temanku yang lain, ada usus pencernaan dalam tubuhnya yang tak kalah lelah bekerja. Jadi satu-satunya jalan adalah mengambil tugas bagian dari dirinya.


Pagi ini baru saja dirinya terbuka matanya, belum mandi bahkan tentu belum menyikatku, barisan putih nan menawan saat dirinya tersenyum.


Sabira oh Sabira.

Mengapa dirimu suka sekali makan?


Kelebihan berat badan membuatnya tidak cukup cekatan. Bahkan untuk sekedar berjalan ke dapur untuk mengambil gunting untuk membuka kemasan Snack saja lagi-lagi dia membuatku kepayahan, menggigit bungkusan plastik sekencangnya hingga bungkusnya terkoyak dan isinya siap dipindahka. Ke perutnya yang sudah tak berbentuk lagi.


Dahulu Sabira cantik, gadis baik dan ramah, yang memiliki postur tubuh ideal idaman semua gadis dan pemuas mata para kaum lelaki saat memandangnya berjalan.


Sampai satu ketika mata menyampaikan hal yang paling menyedihkan yang pernah dilihatnya. Mata melihat sosok yang membuat jantung Sabira berdegup kencang berjalan bergandengan dengan gadis lain. Bahkan telinga pun menceritakan kalimat yang terlontar dari sang pria tersebut. 


Tiada yang menyakitkan dari rasa sakit hati. Kata yang terucap tak bisa diambil kembali. Hati yang sudah terkoyak sulit di perbaiki kembali.


Sabira berubah dari gadis periang yang penuh canda tawa, yang tentu saja memamerkan barisan diriku yang putih terawat. Namun kini, Sabira hanya menyiksa dengan membuatku mengunyah tiada henti.


Untuk merawat diriku pun sudah tak dilakukannya lagi. Aku merasa kotor dan dekil. Oh, Sabira bangun dan raih masa depanmu! Putus cinta bukan akhir dari segalanya.


Sayangnya ocehan itu hanya bisa kami dengar sendiri, para anggota tubuh yang setia menemani Sabira selama ini. 


Hari itu pagi hari nan cerah. Entah mengapa hingga matahari hampir mencapai puncak, Sabira tidak kunjung memasukkan makanan ke dalam mulut untuk akhirnya membuatku bekerja giat.


Hari ini sepi dari segala pekerjaan yang harus aku lakukan. Sabira tidak lagi memegang makanan, yang ada justru dirinya memuntahkan isi perutnya sedari tadi.


Warna kulit wajah Sabira berubah menjadi pucat. 


Rumahku atau disebut rongga mulut terbuka sedari malam tadi. Kekhawatiran kami rasakan, para anggota tubuh. Karena beberapa jam sebelumnya teman kami, jantung mengucapkan salam perpisahan.


Tidak ada lagi pekerjaan yang melelahkan dan rutin kami lakukan. Aku ingin mandi dan terkena sikat yang membersihkan bagian bersih yang selama ini tak tersentuh.


Jantung Sabira berkata, "selamat pagi, semua anggota tubuh kesayangan. Saya memberitahukan bahwa aku harus pergi meninggalkan. Aku tidak lagi sanggup berdetak. Tanyakan pada tenggorokan apa yang sebenarnya terjadi. Sabira kehabisan nafas tersedak makanan, itu yang aku tau kini."


Kerongkongan dan saluran pernapasan lainnya sudah kepayahan. Sulit sekali mencari oksigen ketika ada yang mengganjal didalam tenggorokan.


Gadis cantik dengan badan laksana model harus berakhir tragis. Tubuh tambun berbobot luar biasa itu kalah dengan makanan manis yang membuatnya harus berhenti sampai disini.


Cinta itu rumit, laksana kebaikan timbul persepsi baik bagi orang yang satu namun akan menjadi ketiadaan pada saat iri dengki merasuk hati.


Aku yang berbaris rapih dan bercahaya hanya tahu bahwa tugasku ini sudah berakhir. Hembusan nafas menjadi tanda kami para anggota tubuh harus mengakhiri tugas kami sampai disini.

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua