Ilusi


Aku terbangun dengan kepala seperti terhantam benda keras, sekujur tubuh rasanya sakit mulai dari kepala hingga kaki, dan susah sekali menggerakkan badan bahkan satu jari rasanya begitu sulit.


Menatap sekeliling ruangan berwarna putih dengan aroma khasnya, aku ada di rumah sakit. Tetapi aku sama sekali tidak ingat kejadian yang menimpaku sebelumnya. 


Pintu kamar terbuka dan masuk beberapa orang berseragam putih. Senyum ramah dari bibir satu orang yang terlihat paling tua diantara mereka.


"Selamat siang ibu, anda sudah siuman? Perkenalkan saya dokter Wijaya. Ibu sekarang berada di RS kasih bunda Jakarta. Apa ibu tahu apa yang baru saja menimpa ibu?" 


"Saya tidak ingat dan saya tidak tahu dok kenapa saya bisa ada disini. Tadi dokter panggil saya ibu? Usia saya baru sembilan belas tahun dok."


Dokter Wijaya menatap kebingungan namun senyum tidak lepas dari wajahnya, ciri khas seorang dokter ahli yang ramah.


*****


Aku adalah mahasiswi tahun terakhir universitas negeri di Jakarta. Di tempat ini pertama kali aku mengenal yang namanya cinta. Kisah klasik antara mahasiswi dan dosennya. Kisah manis penuh kata yang melambung tinggi hati seorang gadis. Tanpa proses yang lama akhirnya dilangsungkannya pernikahan.


Kehidupan pernikahan impian menjadi kenyataan. Aku menjadi seorang istri yang mengurus rumah berdampingan dengan suami pekerja menjadi pemandangan apik rasanya. Waktu terus berlalu hingga lahir anak-anak diantara kami, tiga orang anak berusia 8 tahun, 5 tahun dan terakhir 3 tahun. Tahun-tahun diawal pernikahan suasana surga hangat mewarnai hari di dalam rumah tangga kami.


Malapetaka datang seiring anak-anak yang terus bertambah usia mereka dengan bertambahnya kerepotan yang dialami. Suamiku, dosen kolot yang beranggapan urusan mengasuh anak dan mengurus rumah adalah menjadi kewajibanku. Lelah yang merasuk di dalam diri, bertumpuk dengan tuntutan demi tuntutan yang suamiku berikan. 


Suamiku tidak akan mentolerir kesalahan sekecil apapun. Rumah harus selalu rapih, bahkan hal sepele semacam menyusun isi kulkas saja harus sempurna dan kebersihan harus terjaga sampai ke sudut tak terlihat, semua harus sempurna kebersihan dan kerapihannya. Anak-anak harus baik dan pintar, mereka dituntut target yang buatku berpikir ini sungguh tidak masuk akal. Si bungsu, sama seperti kakak-kakaknya terdahulu saat seusianya, anak bungsuku yang kini baru 3 tahun sudah dijejali pelajaran berhitung. Bahkan urusan ranjang pun tiada peduli kapan pun aku harus siap, siap rapih dan wangi untuknya.


Tuntutannya semakin menggila, aku sungguh tak sanggup mengerjakan semua sendiri. Sering aku sampaikan namun hukuman demi hukuman yang aku dapatkan. Pintarnya suamiku selalu memukul, menendang bahkan menghajar bertubi-tubi pada tubuh yang tertutup pakaian. Sehingga tiada yang tahu, bahkan anak-anak pun tidak mengetahui sedikitpun.


Sampai satu hari, kepulangan suami tidak aku sambut. Hari itu aku begitu lelah, ketiga anakku sakit bersamaan, baru menjelang pukul 2 dini hari suhu badan mereka turun dan tertidur lelap. Suamiku yang dinas ke luar kota mengatakan bahwa esok hari akan pulang dan selepas subuh akan sampai di rumah. Aku yang baru saja tertidur tidak menyadari dirinya sudah pulang.


Entah setan apa yang merasukinya, sepulangnya mendapati aku yang masih terlelap dan rumah dalam kondisi berantakan. Bahkan kamar kami belum sempat aku rapihkan, karena seharian kemarin anak-anak terus muntah. Dirinya menghujaniku bukan hanya dengan makian, bahkan rasanya seluruh tubuh sakit terkena hantaman yang dia berikan.


Mataku sulit dibuka, namun satu pikiranku. Aku ingin kembali ke masa kuliah sebelum kami menikah. Saat aku masih berumur 19 tahun. Kembali ke bulan Maret tahun 2010. 


Aku berusaha membuka mata walau rasanya terasa perih. Hanya terlihat warna putih kosong di sekitarku. Dari kejauhan nampak terlihat bayangan hitam membentuk siluet tubuh entah siapa namun seakan tak asing. Walau hanya bayangan aku tahu dirinya tersenyum dan memberikan sebuah kotak, tertera angka dan huruf yang berkedip, 23 Maret 2010. Ditekannya tombol satu-satunya kotak tersebut, seketika badanku terasa tertarik menjauh.


*****


Duduk ditengah keramaian yang seketika aku sadari, kini aku berada di kantin kampus. Di depan aku duduk ada Raisa dan Keyla, dua sahabat yang setia menemani aku selama menempuh pendidikan di kampus ini. Aku tahu hari ini, aku kembali ke waktu sepuluh tahun yang lalu, hari ini adalah hari dimana aku akan dilamar oleh seseorang.


Seseorang yang melamarku hari ini adalah Dwi Putra Prasetyo, mahasiswa kaya yang terang-terangan mengejarku, seorang lelaki yang dijuluki playboy kampus. Aku tidak pernah mengenalnya, namun entah mengapa tiba-tiba melamarku di siang hari tepat saat semua orang berkumpul di kantin kampus.


Aku ingat bagaimana dulu aku pergi meninggalkannya tanpa menjawab lamarannya, yang membuat dirinya setelah kejadian tersebut pergi entah kemana. Hari ini aku akan menjawab lain. Kumpulan orang-orang ada di lapangan dekat kantin, membawa kertas warna warni dan balon menyertai mereka. Kertas yang berisikan tulisan, 'Alesha Andriana, maukah kau menikah denganku?', kumpulan orang-orang tersebut terurai dan memberi jarak pada seorang pria berpakaian rapih dengan sekuntum bunga yang dipegangnya.


Aku berjalan mendekat ke arah lelaki tersebut, senyum manis pada paras tampan yang banyak digilai wanita ternyata jauh lebih tampan dalam jarak sedekat ini. Aku tersenyum malu mendapati dirinya menatap lekat wajahku.


"Alesha, gadis manis yang beberapa waktu belakangan membuat aku tak berhenti memikirkan kamu. Maukah kamu menerima aku dan menjadi istri aku kelak?" tanya lelaki tampan yang memiliki tubuh tinggi tegap dan aroma mint yang begitu menggoda dari tempat aku berdiri. Tanpa perlu aku menjawab dengan kata-kata, cukup anggukan kepala membuatnya berteriak dan mengepalkan tangan ke udara. Riuh ramai suara orang-orang menyoraki kami.


Bertahun-tahun berlalu, aku menjadi seorang istri Dwi Putra Prasetyo, pria maskulin yang mempesona mata tiap wanita yang menatap. Kami tinggal di sebuah kota di Jawa Tengah, bisnis yang Dwi jalani berkembang pesat. Hidup dalam lingkungan kelas atas membuat aku tidak kesulitan kala menginginkan apapun, tetapi sampai saat ini kami belum memiliki anak.


Pertengkaran demi pertengkaran kami lalui akhir-akhir ini disebabkan masalah belum hadirnya janin di rahimku. Namun satu kalimat yang membuatku tersentak.


"Percuma aku menciptakan mesin waktu untuk mengubah takdir kita, kalau nyatanya kamu pun tidak bisa membuat aku bahagia. Maka tak ada gunanya pula wanita sepertimu hidup, hey Alesha!" kata-kata Dwi yang masih sanggup kudengar sebelum diri ini hilang kesadaran.


Tamat.

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua