Hilang

Mentari pagi terbit dari ufuk timur serta menembus jendela kamar tidurku. Tidak seperti biasanya hanya terdapat satu pemberitahuan di handphone, itupun dari temanku yang mengingatkanku buat mengisi absensinya. Biasa, penyakit mahasiswa.


Nama gadis tersebut merupakan Nur Zahra, biasa aku memanggilnya dengan Zahra. Perempuan yang sudah mengisi penuh hati ini.


Biasanya zahra senantiasa meneleponku pagi-pagi sekali hanya untuk mengingatkanku buat sarapan pagi, dengan kata-katanya yang telah kuhapal.


"Selamat  pagi Andre sayang. Jangan lupa sarapan serta jangan sampai telat ke kampus ya.” 


Tetapi hari ini tidak ada kata-katal penyemangat bagiku di pagi ini.


Kulirik jam bilik di kamarku yang sudah menampilkan jam 8 yang berarti, satu jam lagi aku wajib hadir di kampus. Siapa pun tidak akan mau mendengar ocehan diiringi ceramahnya Pak Yasir yang merupakan dosen terkiller di kampusku.


Setelah jam kuliahku berakhir, aku langsung bergegas mengarah ke rumahnya Zahra. Jarak dari kampusku ke rumah Zahra bisa di tempuh dalam waktu 15 menit dengan kecepatan wajar. 


Dalam perjalanan pikiranku senantiasa tertuju pada kekasihku, Zahra. Setibanya di depan rumah Zahra, kondisi rumahnya hening tidak nampak mobil kepunyaan Bapak Zahra yang biasa terparkir di taman rumah, tetapi bisa jadi beliau lagi tidak di rumah.


Kucoba ucapkan salam hingga 3 kali tetapi tidak terdapat satu orang juga yang keluar dari rumahnya. Aku kembali pulang dengan perasaan hampa.


Suhu malam sangat dingin untuk dirasakan, kulitku sendiri yang dapat tahu, mulai membisikannya ke segala bagian tubuhku. Udaranya sangat tidak aman, bisa jadi tidur merupakan hal yang menyenangkan. Tetapi rasa kantuk tidak kunjung datang.


Disela- sela lamunanku, akupun teringat dengan peristiwa kemarin sore yang terus terbesit dalam pikiranku.


Sore itu tepat di hadapanku duduk seorang perempuan yang selama 2 tahun ini hanya dialah bidadari dalam hidupku, kepalanya tertunduk diiringi linangan air mata yang membasahi wajah teduhnya, entah mengapa dia tiba-tiba memelukku tanpa mengucapkan sepatah kata pun.


Tiga hari berturut-turut, aku melakukan hal yang sama. Kehilangan dan mencari kemana pun tempat yang mungkin di kunjungi Zahra kekasihku.


Tubin sudah sejak ketiadaan kabar Zahra. Mendadak hati ini bagai terserang sambaran petir, kaget bercampur dengan kesedihan, dikala seperti itu terbesit di ingatanku dengan surat yang dikirim via pos tadi pagi.


Dalam perjalanan pulang air mataku mulai menetes, tidak sanggup rasanya jika harus menjalani kehidupan ini tanpa hadirnya Zahra di sampingku.


"Kemanakah Zahra si penyemangat hidupku ini?" ucapku lirih.


Langkahku cepat menelusuri rumah, adikku yang lagi duduk di ruang keluarga nampak heran memandang kelakuan si kakak yang nampak risau serta tergesa- gesa mengarah kamarnya,


Kugapai surat berstempel Pos Indonesia yang tadi pagi kuletakkan di atas tumpukan buku- buku bacaanku.


Tanganku ragu untuk membukanya, tetapi seluruh jawaban dari peristiwa menghilangnya jejak Zahra terdapat di dalamnya. Kucoba kuatkan hatiku buat membaca pesan pemberian zahra.


Dear Andre,


Aku sayang kamu, bahkan sangat menyayangimu, aku tidak mampu untuk mengatakan langsung padamu. Satu hal yang wajib kamu tahu tanganku berat kala wajib menulis tiap kata di pesan ini, sangat banyak air mata di tiap katanya.


Andre aku harus ikut dengan keluargaku yang pindah ke Jerman.


Jaga dirimu baik-baik, jangan malas berangkat ke kampus ya. Dan jangan lupa untuk selalu sarapan pagi.


Salam cinta

Zahra

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua