Batas Ketakutan

Namaku, Viona Larasati. Usiaku saat ini 10 tahun, dan aku adalah seorang pembohong sejati. Aku bisa memainkan peran sebagai anak gadis manis yang pandai bermain piano. Namun sebenarnya aku juga seorang gadis yang gemar olahraga panjat tebing.


Jangan ditanya sudah berapa piala aku dapatkan. Mama dan papa khusus menempatkan benda berkilau itu di lemari kaca tinggi dan besar. Kalau piala dari ajang perlombaan panjat tebing tidak pernah aku bawa pulang, aku punya tempat rahasia. 


Tempat rahasiaku adalah rumah almarhum kakek yang berada di kota seberang. Tidak akan ada yang tahu, karena mama papa begitu berduka saat kakek meninggal, bahkan tidak lagi mengunjungi rumah tua nan besar itu.


Hari ini mama dan papa sedang ada perjalanan bisnis ke luar negeri. Jika untuk urusan dalam negeri memakan waktu 2-3 hari, maka jika harus ke luar negeri, mereka biasanya harus menghabiskan waktu minimal satu minggu.


Mereka tidak perlu khawatir meninggalkan aku dirumah sendiri, karena ada mbok Yun yang setia menemani sejak aku kanak-kanak. 


Menaiki bus sambil memegang piala juara 1 lomba panjat tebing se-propinsi dengan perasaan bangga yang hanya aku yang merasakan. Dari tempat aku turun dari bus, menuju rumah almarhum kakek harus ditempuh hanya berjalan kaki sejauh hampir 150 meter.


Aku tidak banyak memiliki teman, satu-satunya teman dekatku adalah Rendi yang bertempat tinggal tidak jauh dari rumah almarhum kakek. Rendi tahu aku bukan gadis manis feminis seperti yang orang tuaku tahu, karena kami selalu berlatih panjat tebing bersama-sama.


Ketika Rendi tahu aku memenangkan lomba maka hari itu juga dirinya menjemputku di tempat pemberhentian bus. Menyusuri jalan berdua, berboncengan menggunakan sepeda tua miliknya diiringi tawa riang kami. Tepatnya menertawakan kebohongan diriku entah siapa yang tahu kapan kan terungkap.


Tiba di persimpangan jalan, nyaris saja kami tertabrak mobil van yang tiba-tiba datang dengan kecepatan tinggi. Terdengar bunyi suara ban berdecit dan tiba-tiba pintu tengah mobil terbuka ke samping, keluar dengan tergesa-gesa seseorang berpakaian serba hitam menghampiri anak kecil yang sedang bermain, seperti tidak jauh dari situ ada ibu dari anak kecil itu, namun ibu tersebut sedang menerima telepon dan menghadap membelakangi sang anak.


Sepersekian detik kami terkesima dengan pemandangan yang baru saja kami saksikan. Sebuah penculikan anak kecil!


"Hey Rendi, kita harus mengejar mobil itu. Ayo kayuh sepeda dengan cepat!"


"Sabar Viona, ini sudah dengan sepenuh tenaga aku mengayuh, kau enak tinggal duduk dibelakang, hah!"


"Lihat mobil itu berputar menuju ke belakang komplek kita, mau kemana sebenarnya mereka itu?"


"Aku tidak tahu Viona, tapi yang aku tahu dekat sana ada sebuah sumur tua dan rumah yang hampir roboh. Aku tahu jalan pintas menuju kesana kita bisa mencegat mereka!"


Baru saja kami sampai tempat yang akan menjadi tujuan si penculik, datang mobil Van tersebut. 


"Rendy, ayo kita kumpulkan benda-benda yang bisa kita jadikan senjata."


"Sudah tidak ada waktu lagi, kau jago karate kita lawan satu-satu."


"Kau gila Ren, usia kita masih 10 tahun, mereka sudah lebih besar daripada kita, bagaimana caranya memenangkannya?"


Melihat bagaimana mereka menarik paksa tubuh anak kecil itu, membuat aku sedikit geram dan ingin segera menerjang kearah mereka. Namun aku baru saja menemukan sebuah rencana


Benar saja anak kecil itu disekap di kamar paling belakang dekat sumur tua. 


"Hey hati-hati, jangan sampai anak itu terluka, dia aset bagaimana kau akan mendapatkan uang.


"Tenang saja, aku sudah tahu."


"Baik, cepatlah kau masukkan anak itu ke kamar paling belakang. Aku akan mengirim pesan pada boss bahwa anak itu sudah kita dapatkan."


Aku pun memberikan kode kepada Rendy agar segera berlari mencari bantuan, aku akan melakukan sesuatu untuk menyelamatkan anak kecil itu.


Kamar tempat anak kecil itu terletak di lantai dua, tangga satu-satunya menuju keatas ada di dalam bangunan itu. Bukan hal sulit bagiku memanjat tembok belakang gedung menuju salah satu jendela lantai atas.


Mengetahui para penculik ada di bagian depan bangunan, aku bersiap masuk ke dalam kamar dimana anak kecil berada.


Anak kecil itu hendak berteriak entah karena kaget ataukah rasa takut yang dia rasakan, saat melihatku.


"Sudah jangan menangis, kita akan keluar dari tempat ini bersama-sama. Kamu tidak perlu khawatir."


Melepaskan tali ikatan yang mengelilingi tubuh anak tersebut sedikit terjadi kesulitan buatku. Tali tambang yang dipakai begitu kuat, namun adanya pecahan kaca di dalam bangunan tua itu, bisa aku gunakan untuk memotong tali tambang itu.


Sedikit meninggalkan luka di tangan ku, bergetar sebenarnya tanganku, namun ku coba tahan. Aku takut melihat darah sebenarnya, ini diakibatkan aku melihat mama keguguran saat sedang bermain denganku dirumah.


Berhasil terbebas dari ikatan di tubuhnya, aku mengisyaratkan pada anak itu untuk mengikutiku. Mengendap sampai ke dekat tangga turun, memastikan keadaan cukup aman, kami berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apapun.


Terdengar suara dua orang dewasa sedang berbicara.


"Aku sudah sering melihat kekejaman orang, namun kali ini sungguh gila. Seorang ayah merencanakan penculikan anaknya sendiri."


Aku dan anak kecil itu mendengar kalimat yang membuat kami terkejut, sebelum anak kecil itu membuat suara, aku membekap mulut anak itu dengan tanganku.


Kami melanjutkan untuk menuruni tangga, sampailah kami di pintu belakang gedung ini. 


Sial, salah satu penculik sadar bahwa anak kecil itu tidak ada di tempat. Kami harus cepat mencari tempat sembunyi.


Sumur tua, tempat gelap dan sempit. Dalam kegelapan dan ruang tidak bercela biasanya mampu membuat aku pusing dan hilang kesadaran, namun kali ini aku harus kuat.


Sambil memegang tali satu-satunya sumur, aku bertahan menahan tubuhku dan anak kecil ini. Inilah puncak ketakutan yang tidak sanggup aku bendung. Rasa takut membuat aku ingin melindungi yang lebih lemah dari diri ini.


Tanganku sudah hampir kebas, rasanya tidak mungkin aku bertahan walau sebentar saja.


Namun, terdengar bunyi sirine yang membahagiakan. Dalam bayangan mata yang hampir kabur aku mendengar Rendi memanggil namaku, dan aku pun melihat kepalanya di atas mulut sumur.


Kepalaku terasa berat sekali, dan hidungku menghirup aroma khas obat. Dominan warna putih dalam bayangan mataku. Aku tahu persis aku berada di kamar rawat rumah sakit. Tapi bagaimana dengan nasib anak itu? Dan senyum indah dari anak kecil dengan rambut kuncir dua menyambutku. Aku mengenalinya karena selama berjam-jam wajah itu lekat dalam gendonganku didalam sumur.

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua