Kehilangan Seorang Pahlawan.

 

Hembusan angin beriring menyapu rambut. Menyisir setiap sudut. Terdiam dalam hening malam. Langit kelabu menambah dinginnya suasana. Sepasang kaki kecil tertatih, tanpa alas kaki. Melawan dinginnya malam itu. Berharap mendapatkan sedikit kehangatan dalam indahnya kota. 


“Sudahlah Kak, tidaklah mudah kita mencari makanan malam ini. Lebih baik kita mencari tempat untuk melepas lelahnya hari ini.” Ucapku kepada kak Erin yang jelas-jelas terlihat kelelahan. Sepasang mata menatapnya dengan penuh keraguan. Matanya yang lusuh, kini basah oleh air matanya. Mulut pun terkunci tanpa sepatah kata pun. Putri Kemuning dan kak Erina Viola, kami adalah dua bersaudara yang saling menggantungkan diri. Dialah satu-satunya keluarga yang aku punya setelah kematian kedua orang tua yang amat tragis.


“Hari ini kita sudahi saja Kak, mungkin besok kita akan dapat yang lebih banyak.” Ucapku meyakinkan.


“Baiklah jika kamu memang sudah kelelahan, mari kita mencari tempat beristirahat malam ini.” Ujar Erin.


Malam semakin dingin, hujan pun mulai membasahi jalanan. Di depan sebuah toko. Kemuning dan Erin beristirahat. Hanya koran kotor yang sebagai alas tubuh mungilnya. Angin yang berhembus, bersamaan dengan hujan yang turun menambah dinginnya malam itu. Tubuh mungil menggigil, menahan dinginnya suasana malam itu. Kak Erin yang menyadari hal tersebut hanya bisa memeluk tubuhku. Dengan harapan bisa menghangatkan tubuhku, Kak Erin adalah pahlawanku.


Malam semakin gelap, mendung menutupi bintang yang menghiasi langit. Rintik-rintik hujan berjatuhan. Aku dan Kak Erin tertidur dengan alas seadanya. Dalam hening malam. Kak Erin merintih menahan sakit di perutnya. Aku yang terbangun dan cemas. Bingung untuk berbuat apa. Aku memberanikan diri untuk mengetuk rolling door toko berharap belas kasih untuk membantu Kak Erin. “Permisi toloong. Seseorang tolong saya. Tolong kakak saya.” Ujarku sambil mengetuk pintu.


Pemilik toko yang mendengar suara ketukan. Melihat ke arah monitor yang mengawasi rekaman cctv toko tersebut. Pemilik toko melihat keadaan aku dan Erin. Pemilik toko tersebut berlari ke tempat kami. Tanpa sepotong kata pun pemilik toko mengangkat tubuh Kak Erin masuk ke dalam toko. Diletakannya tubuh mungil itu di sebuah tempat tidur. 


“Apakah Adik ini adalah saudara dari gadis ini?” Tanya pemilik toko kepadaku.


“Ya, saya adalah adiknya. Nama saya Putri Kemuning dan ini Kakak saya Erin Viola.” Jawabku.


“Tolong tunggu di sini sejenak. Bapak akan mengambil obat untuk Kakak kamu.” Ujar pemilik toko.


“Ini obatnya. Kamu bisa memberikannya obat ini untuk sementara. Besok kita bawa Kakak kamu untuk diperiksa ke rumah sakit.” Ucap pemilik toko.


“Tapi Pak, saya tidak punya apa-apa. Kalau pun ada sisa uang hanya cukup untuk membeli makan” ujarku kebingungan. 


“Biayanya akan saya tanggung, kalian bisa tinggal di sini menemani saya untuk sementara jika memang kalian bersedia.” Ujar pemilik toko.


“Terima kasih Pak. Maaf saya tidak bisa memberikan apa-apa untuk Bapak. Dan kalau boleh tahu nama Bapak siapa? Supaya saya selalu ingat dan bisa membalas kebaikan Bapak. Dan apakah Bapak memiliki keluarga?” tanyaku lagi dengan penuh semangat.


“Nama saya Andi. Sebenarnya dulu saya adalah pengusaha yang bisa dibilang sukses. Sampai suatu saat. Terjadilah pembunuhan keluarga saya. Istri dan anak-anak saya terbunuh dalam kejadian itu. Surat-surat berharga diambil oleh para perampok. Hanya toko ini yang tersisa. Dan saya sangat senang kalian ada di sini. Mengobati luka yang masih belum bisa saya sembuhkan.” Ucap pemilik toko.


"Maafkan saya Pak, sudah menanyakan ini dan membuat mengingat hal itu.” Ucapku.


“Tidak apa-apa Nak. Saya senang dapat berbincang-bincang seperti ini. Jika Bapak boleh meminta, agar Nak Kemuning dan Kakaknya berkenan untuk tetap tinggal di sini. Mungkin Bapak akan merasa lebih senang.” Ujar pemilik toko. 


“Jika memang itu membuat Bapak senang. Besok saya akan menyampaikan hal ini ke Kakak saya.” Ucapku.


“Baiklah sepertinya sudah larut malam. Bergegaslah istirahat.” Ujar pemilik toko Sambil menunjukkan sebuah kamar. 


“Terima kasih banyak Pak.”ucapku.


"Sama-sama Nak.”Balas pemilik toko.


Malam itu aku dan Kak Erin beristirahat dalam sebuah kamar. Kejadian yang tak pernah diduga oleh kami. Malam itu begitu berharga untukku. Tetapi seketika suasana berubah, karena malam itu adalah malam terakhir aku bersama Kak Erin. 


Ketika Kak Erin batuk tanpa henti. Tak seorang pun mendengarnya. Tangannya yang kedinginan digunakan untuk menutup mulutnya. Dengan harapan tidak membangunkan orang lain. Tangannya berubah memerah. Dan dilihatnya tangan berisi darah. Berlarilah dia ke dalam kamar mandi untuk membasuh tangannya. Alangkah herannya Kak Erin ketika tiba-tiba saja ia memuntahkan banyak darah. Tangannya gemetar, matanya terbuka lebar menatap kejadian ini. Ia kembali ke dalam kamar, dengan harapan tiada orang yang mengetahui itu.


Pagi hari ini tidaklah cerah, mendung menutupi sinar mentari. Aku yang bangun mencari-cari Kak Erin. Tetapi hanya pemilik toko yang ditemuinya. 


“Maaf Pak, apakah Bapak melihat Kakak saya?” Tanyaku kebingungan.


“Saya juga sedang mencarinya, pagi ini dia menghilang. Saya khawatir akan hal ini.” Balas pemilik toko.


Kami pun mencari-cari Kak Erin di setiap ruang yang ada. Mencarinya di sudut-sudut kota. Hanya saja, tak seorang pun menemukannya. Aku pun mengajak pemilik toko untuk ke tempat biasanya kami berkumpul. Terdiamlah aku dan pemilik toko. Melihat Kak Erin tergeletak di tempat itu. Berlumuran darah. Aku berlari mendekati Kak Erin. Memegang wajah kakaknya yang berlumuran darah.


“Kak bangun. Ini Kemuning. Kakaak jangan tinggalin aku. Aku takut Kak.” Ujarku sambil menangis.


Pemilik toko mencoba merasakan denyut nadi. Akan tetapi.. Tak ada tanda kehidupan. Kak Erin telah meninggalkan aku seorang diri, aku menangis seketika itu. Hujan turun menemani kepergian Kak Erin.

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua