Kehilangan Senja

 Kurasa, kedai ini terlalu sesak untuk kita. Terlihat, ada banyak anak-anak resah yang bergelantungan di juntai rambutmu. Ada banyak keluh kesah yang bersembunyi di balik kemejamu. Dan ada banyak kisah yang membuntut di punggung sepimu.


Mengapa kau menabung air mata itu sendirian? Mengapa kau hanya menyajikan basa-basi dalam sepiring diksi. Tanpa sedikit pun remah-remah jujur yang sudi kau bagi? Bukankah kau mengajakku ke sini untuk berbagi rasa, barang secangkir air mata?


Katakan saja apa-apa yang sedang mengganggu pikiranmu. Tanpa basa-basi atau pun kode-kode yang penuh interpretasi ambigu. Sebab, aku tak selalu peka untuk menyigi ringkih sikapmu, aku tak selalu paham membaca inginmu, dan aku tak selalu bisa mengeja apa pun dari dirimu.


Seorang pelayan datang membuyarkan kediaman ini. Mungkin ia telah kesal dengan kita, karena sudah hampir satu jam kita duduk di sini. Tanpa sedikit pun kepastian, apa sebenarnya yang ingin kita pesan.


"Jadi, Tuan dan Nyonya mau pesan apa?" tanya pelayan itu lembut.


Kita kebingungan. Pelayan itu kemudian membuka buku menu yang sebenarnya belum kita lirik sama sekali.


"Ris ...." Aku hampir saja memesan Ristretto, tapi terpotong oleh jemarimu yang menunjuk satu nomor menu yang bertuliskan 'espresso'.


"Ya, kami pesan dua cangkir espresso," kataku.


"Tunggu sebentar ya, Tuan," pungkasnya yang kemudian berjalan mendekati barista yang terlihat sibuk dengan aksinya.


Aku mengangguk.


Mengalah? tidak, aku pikir setidaknya kita harus mempunyai kesamaan. Agar kecanggungan ini mencair seperti gula yang diaduk dalam cangkir.


Lantas, kita memandang satu sama lain. Saat sinar senja hadir menelusup dari kisi-kisi jendela. Dulu, aku ingat sekali. Saat senja mulai tergerai di sehamparan cakrawala. Kau selalu menyambutnya dengan begitu antusias. Bahkan puluhan puisi romantis tentang senja telah kau cipta dan tentu saja kau selalu merengek manja, memintaku untuk mendengarkan puisi-puisi yang kau baca.


Namun, kali ini senja terasa asing bagiku, tak ada binar di ceruk matamu, tak ada senyum di raut wajahmu. Mengapa ini bisa terjadi padamu? Bukankah dulu kau sangat mengagumi senja?


Hening, bahkan aku hampir tak menyadari, tiba-tiba saja dua cangkir espresso telah tersaji diatas meja.


"Bang, a-aku mengundang abang untuk datang besok lusa di acara pernikahanku," katamu yang terlihat sangat gugup.


Aku terperanjat tak percaya. Kucoba sekuat mungkin untuk tetap bersikap tenang. Meski ada sesak yang teramat sakit di dalam dada. Entah perasaan apa ini?


"Bagaimana bisa secepat itu?"


Kau tertunduk, menyeka air mata yang tak lagi mampu kau tahan. "Aku terpaksa dijodohkan dengan bos pengepul ikan di desa sebelah, karena abah sudah tak berdaya untuk membayar semua hutang-hutangnya."


Aku terdiam. Tak ada yang bisa kukatakan untuk merespon perkataanmu.


"Kau tahu, apa yang lebih menyakitkan? Aku mencintaimu, Bang."


Pikiranku semakin kalut kehilangan kata-kata.


Senja kini telah redup. Sebentar lagi kita benar-benar akan kehilangan sinarnya dan tenggelam dalam kenyataan malam yang hitam. Sehitam espresso yang sama-sama kita telan dengan getir yang sangat mendalam.


***

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua