Harapan di Malam Terakhir


Satu hal yang membuat kita tetap berjuang adalah harapan. Perasaan yang tak pernah lelah meski berkali-kali didera luka dan kecewa. Namun memilih untuk tetap ada. Bahkan saat harus terjatuh, perasaan itu masih saja bertahan. Sakit bukanlah hal yang harus dijelaskan. Meski sesak memenuhi ruang hati. 

Jam di dinding tembok berwarna putih menunjuk angka 10, langit tak lagi terang, aku masih di sini, tak bergerak karena takdir Tuhan sedang menyapa, hujan yang sedari tadi bertamu ke bumi belum juga menunjukkan tanda redanya, tiba-tiba saja perasaan itu datang ditemani dinginnya angin malam. 

Aku memiliki empat orang anak, Alfi berusia 30 tahun, Andrea berusia 27 tahun, Ismail 26 berusia tahun, dan bungsu Rahel berusia 20 tahun. Aku sangat merindukan kedua putraku.

Peristiwa tiga tahun lalu begitu menyesakkan dadaku, Alfi meminta sertifikat rumah. Rumah sederhana kami satu-satunya dia minta dengan paksa, entah setan apa yang merasukinya. Alfi ternyata menghamili pacarnya dan keluarga kekasihnya itu meminta mahar yang cukup besar. Kemarahan besar yang ada pada diri suamiku, begitu juga dengan Alfi yang dibutakan cinta. Pertengkaran hebat diantara mereka, namun tubuh tua suamiku harus kalah oleh Alfi, sertifikat rumah terbawa olehnya.

"Aku anak pertama Bu, berhak atas warisan rumah ini! Aku mau menggunakannya sekarang! Malu aku kalau tidak bisa memberikan mahar yang diminta keluarga Shinta."

"Tapi Ibu sama Bapak masih hidup Nak, warisan apa yang kamu bahas disini!"

Begitulah Alfi jika sudah menjadi keinginannya maka gunung pun akan dibelah olehnya. Mungkin ini buah dari perlakuan aku yang selalu memanjakannya, penantian lima tahun ingin memiliki anak membuatku merelakan apapun demi kebahagiaannya. Tak pernah aku memarahi sekalipun Alfi salah, dan beginilah akhirnya.

"Ibu sama bapak tidak perlu hadir di acara pernikahanku, keluarga Shinta keluarga terpandang. Sertifikat akan Alfi jadikan jaminan ke bank, Ibu tinggal bayar saja cicilannya!"

Tanpa perasaan melihat bapaknya tergeletak di lantai, dan air mataku yang sudah beranak sungai tak lagi di hiraukan. Alfi melangkah pergi.

Setelah kejadian tersebut, kami harus mencicil hutang yang entah bagaimana oleh Alfi sertifikat rumah itu sebagai jaminan di bank, mungkin saja Alfi memalsukan tanda tangan, entahlah. Andrea dan Ismail pun ikut membantu, bersyukur mereka sudah bekerja.

Entah karena apa, setahun setelahnya Ismail marah besar.

"Bu, aku mau kuliah! Aku tidak bisa lagi membantu ibu sama bapak, aku akan pergi ke Jakarta. Ini terasa tidak adil untukku dan juga anak ibu yang lain, sedangkan mas Alfi disana enak. Aku pergi, dan tak usah mencari ku!"

Dengan menggebu Ismail meluapkan kemarahannya dan melangkah pergi dari rumah.

Andrea kini sudah menikah dan memiliki satu orang anak. Setelah menikah tentu Andrea tidak bisa banyak membantu lagi.

Beruntung Rahel mendapat beasiswa dari kampusnya, walau kurasa Rahel merasa lelah. Karena keterbatasan ekonomi, kami hanya memberinya ongkos pulang pergi saja. Rahel bekerja paruh waktu untuk memenuhi keperluan tugas kuliah dan tambahan lainnya. Rahel pun tidak bisa kos, di tahun terakhir kuliahnya, sering sekali dirinya pulang malam sekali dan pagi sudah harus berangkat.

Kini buah perjuangannya membuahkan hasil, walaupun belum menerima ijazah Rahel diterima kerja di perusahaan milik negara. Beberapa waktu lalu aku dan suami, menyaksikan hari bahagianya, Rahel sudah di wisuda.

Matahari cukup menyilaukan mata, aku terbangun dengan tubuh yang terasa seperti sudah tertidur lama. Pandangan terindah yang aku temui. Ada Alfi dan Shinta istrinya, ada Ismail juga yang menggenggam tanganku. Rahel, Andrea dan suamiku berdiri tidak jauh. Tapi mengapa mereka menangis?

Tanganku rasanya hanya menembus angin saja, tak mampu membalas genggaman hangat tangan Ismail. Bahkan melangkah ke arah Alfi terasa begitu ringan. Harapanku kini terwujud, agar kedua anak lelakiku pulang.

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua