Sarwini dan Tiga Stabillo


Sarwini menunduk, ketika melewati beberapa lelaki yang tengah duduk menghisap kretek, di depan pintu gerbang rumah Juragan Warno.

Para lelaki tersebut terkikik, menertawakan Sarwini yang melintas terburu-buru di depan mereka.

“Kapan rabi?”¹
Hati Sarwini memanas, ketika telinganya mendengar celetukan dari salah satu lelaki itu.
Perempuan tiga puluh enam tahun itu mempercepat langkahnya, membuat tubuhnya terguncang ke kiri dan ke kanan, kedua tangannya mendekap erat bungkusan kecil di dada.

Memang, bukan baru sekali ini Sarwini mendapatkan perlakuan seperti itu.
Sering, bahkan hampir setiap hari. Dirinya selalu diolok-olok sebagai perawan tua dan tidak laku.
Sarwini tak pernah bisa menerima olok-olok tersebut. Hatinya selalu terasa sakit, teriris-iris.
***
Sore itu mendung hitam menggantung di langit.
Sudah hampir sebulan ini cuaca tidak menentukan. Hujan selalu datang tiba-tiba dan tanpa pertanda. 

Seluruh penduduk desa lesu. Cuaca tidak bersahabat, sama artinya mengancam sumber hidup mereka.
Panen raya tembakau terancam gagal. Para juragan bersiap merugi. Para buruh tembakau seperti Sarwini bersiap untuk tidak berpenghasilan.

Sarwini dan banyak penduduk desa lainnya memang mengandalkan hasil dari buruh di tempat juragan tembakau sebagai mata pencaharian.
Orang-orang seperti Sarwini biasanya adalah penduduk desa yang tidak mempunyai lahan. Atau mereka pernah punya lahan tetapi sudah terjual ke tangan para juragan.
Kehidupan mereka bergantung pada kesuburan pucuk-pucuk tembakau milik para juragan.

Pun Sarwini, perempuan ini telah menjadi buruh di juragan tembakau hampir sepanjang usianya. Ia pertama kali menjadi buruh ketika berusia tujuh tahun.
Bukan kemauan Sarwini, jika di usia yang begitu belia sudah harus akrab dengan pisau tajam untuk merajang daun tembakau dan cangkul untuk menyiangi pohon tembakau.

Sarwini melakukan semua untuk bertahan hidup. Di rumah gubuknya, ia hanya tinggal berdua dengan ibunya yang menjadi bunga ranjang.
Sarwini kecil hanya bisa menatap iri, saat teman-teman sebayanya pergi ke sekolah dengan membawa buku dan alat tulis lainnya. Sementara dirinya berangkat ke rumah Juragan Warno dengan menenteng bungkusan nasi sisa semalam untuk jatah makan siangnya.

Sarwini kecil adalah seorang anak perempuan yang hanya tahu tentang tiga hal; tembakau, memasak dan ibunya.
Pagi-pagi sekali, gadis kecil itu akan mengurus semua keperluan ibunya. Menyiapkan air minum dan makanan, sebelum kemudian dirinya berangkat bekerja.

Setiba di rumah Juragan Warno, Sarwini langsung melakukan tugasnya.
Ikut juragan tembakau, artinya Sarwini harus bersiap bekerja sepanjang tahun.
Mengurus tembakau sepanjang waktu, akhirnya membuat Sarwini merasa tengah seperti mengurus anak-atau kekasih?

Sarwini selalu bekerja dengan sepenuh hati, mulai dari mengurus bibit yang baru disemai, nandur², menyiangi, ngrajang³, hingga membungkus tembakau halus.
Gadis dengan rambut keriting dan kasar itu tak pernah bercampur dengan teman-temannya sesama buruh.
Orang-orang itu, teman-teman buruhnya, bukan dunia Sarwini. Bagi Sarwini, mereka terlalu banyak bicara dan selalu membuatnya sedih.

Karena perangai Sarwini itulah, akhirnya membuat buruh lain menganggap bahwa ada ‘sesuatu yang tidak beres’ dengan gadis itu.
Akhirnya, Sarwini menjadi bahan guyonan setiap hari di antara para buruh.
Mereka semua tertawa senang saat melihat tubuh Sarwini berguncang ke kiri dan ke kanan, berlari menghindari mereka.
***

Sarwini sampai di rumahnya tepat saat hujan turun dengan lebatnya. 
Ia segera masuk ke dapur, menyalakan tungku untuk menanak beras.

Sarwini sangat menyukai saat nyala api mulai mengenai kulitnya. Ia merasa hangat dan nyaman.
Kemudian ia akan berlama-lama duduk di depan tungku, apalagi saat hujan turun seperti saat ini. Duduk hingga abu di tungku dari tanah liat itu menjadi dingin, setelahnya baru beranjak ke kamar.

Setiap kali memasuki kamar, sebelum membaringkan tubuh lelahnya, Sarwini selalu mengambil sebuah buku yang ia letakkan di samping bantal kumalnya.
Sebuah buku tulis yang lembar-lembarnya telah berubah warna.
Sarwini membeli buku itu beberapa minggu setelah ibunya meninggal, dua puluh tahun yang lalu.

Ia menimang buku itu setiap malam, menuliskan semua kisahnya hari itu, semua keinginannya, tentang air mata, semua luka hatinya karena perlakuan orang-orang, juga tentang kehilangan dan kerinduannya pada sang ibu.

Sarwini menuliskan semua itu dengan suaranya. Ia memeluk buku itu di dada, lalu pelan-pelan ia ungkapkan semua isi hati. Berbisik pada bukunya.
Tapi tidak dengan malam ini, Sarwini membuka bungkusan hitam yang dibawanya dari tempat kerja. Mengeluarkan isinya; tiga buah stabillo berwarna kuning, merah, dan hijau.

Ini kali pertama Sarwini memegang buku dan alat tulis secara bersamaan. Ia tak bisa membedakan mana pensil mana bukan pensil.
Tengah hari tadi, ia memasuki toko Pak Abdullah di sebelah rumah Juragan Warno dengan muka tertunduk, malu-malu.

Sepuluh tahun sejak toko itu dibuka, bisa dihitung dengan jari Sarwini masuk untuk membeli barang. Ia selalu kikuk ketika berada di dalam toko, merasa terlalu banyak benda asing yang tak dikenalnya.

Setelah memutari rak toko beberapa kali, dengan menunduk dan langkah tergesa-gesa, akhirnya Sarwini berdiri di depan kasir untuk membayar tiga buah stabillo yang ia ambil secara acak. Stabillo yang ia sangka sebagai pensil.

Sarwini meraih buku kosongnya, tangannya gemetar saat mulai mencoretkan stabillo di lembar pertama.
Ia hanya membuat garis-garis.
Gadis itu lalu membuka lembar berikutnya, kali ini tangannya sudah tidak terlalu gemetar, ia bisa membentuk bangun-yang seharusnya lingkaran-. 
Sarwini terus membuka lembar demi lembar, terus membuat garis-garis dan juga lingkaran, yang semakin lama semakin beraturan.

Sarwini hampir menghabiskan lembaran kosong di bukunya ketika ia berhenti.
Di lembar itu, ia menggambar seorang perempuan dengan rambut keriting, tubuh yang gemuk dan dua kaki yang panjangnya tidak sama.
Perempuan dalam gambar itu terlihat murung dan menangis.

Sarwini menutup bukunya, meletakkan kembali di samping bantal.
Lalu ia kembali membuka bungkusan hitam di sampingnya, mengeluarkan satu botol kecil berwarna hitam.
Sarwini sangat tahu mengenai botol itu, ia sering disuruh oleh juragannya untuk mencampur cairan itu dengan nasi dan ikan asin, lalu mengumpankan untuk dimangsa tikus.
Dua hari berikutnya tugas Sarwini adalah mencari bangkai tikus yang mati karena racun itu.

Malam ini, Sarwini telah memutuskan, akan lebih baik jika ia menjadi tikus yang memangsa racun, agar tidak lagi menanggung sakit hati dan derita. Ia terlalu rindu dengan ibunya, ingin menemui dan menceritakan semua ketakutan yang dirasakannya.

Perlahan, Sarwini mencampurkan cairan racun  dengan nasi jatah makan malamnya, juga dengan ikan asin, seperti yang sering ia lakukan di tempat kerja.
*** 

Sudah dua hari, pintu gerbang rumah Juragan Warno muram. Buruh-buruh lelaki itu tetap ada di sana, bergerombol merokok. Yang hilang adalah tawa dan olok-olok  untuk Sarwini.

“Gadis gemuk pincang itu sudah dua hari tidak kerja….” Ujar salah satu dari lelaki yang menghisap kretek itu. 

-Selesai-

Catatan
1. Kapan nikah?
2. Menanam bibit
3. Memotong/mengiris tipis daun tembakau

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua