Lelaki yang Merindukan Bintang

 Malam mengalun.

Lampu pijar menerang susah payah sebuah teras rumah sederhana. Pada sebuah amben reyot seorang lelaki tua dan perempuan tua duduk.


"Ceritakan padaku, apa yang kau lihat?” kata lelaki tua. Perempuan tua tua yang duduk di sampingnya memilin ujung baju abadinya, kebaya usang berwarna pudar.

“Tak ada,” kata perempuan tua. “Gelap saja.”

“Tak ada? Bulan tak ada? Bintang?” lelaki tua merasa tak yakin dengan jawaban yang ia dengar.

“Mestinya ada. Tapi mendung sekarang ini, langit gelap sekali.”

Lelaki tua terbatuk-batuk beberapa lama. Perempuan tua mengangsurkan padanya gelas berisi air teh pahit.


“Aku masih ingat,” lelaki tua kembali berkata-kata di antara sisa-sisa batuknya baru saja. “Dulu aku selalu melihat bintang sampai jauh malam. Bintang adalah makan malam. Tidak benar-benar mengusir rasa lapar, tapi bisa membuat aku melupakan rasa lapar.”

“Kau tadi mengunyah. Kau tak sedang lapar lagi bukan?”

“Tidak, aku hanya bercerita saja. Dulu perutku lapar sepanjang malam, tapi jiwaku tidak. Sekarang ini mungkin lebih baik, tapi aku rindu kerlap-kerlip bintang dan terang bulan.” Lelaki tua mengelu-elus lututnya.

“Keadaan telah membuatku menjadi sedemikian tangguh untuk rasa lapar. Tapi untuk melupakan bintang yang telah menghiburku dari rasa lapar selama bertahun-tahun, aku merasa sangat lemah. Kau tahu, keadaanku sekarang memaksaku melupakan bintang, melupakan bulan…”


Perempuan tua diam. Ditatapnya lelaki tua yang telah hidup bersamanya puluhan tahun. Lelaki tua yang tangguh dan tak pernah mengeluh bersahabat dengan kemiskinan dan rasa lapar sejak dilahirkan.

Tapi sejak tirai dunia di matanya tertutup rapat-rapat oleh sebab yang sulit dimengerti, lelaki tua itu selalu mengeluh. Hampir setiap waktu.

Seperti malam ini, ia kembali menanyakan bintang, menanyakan bulan.


“Aku tahu, kau akan selalu merindukan bintang-bintang itu.”

“Hidup mengajariku untuk menjadi kuat meski rasa lapar seperti pakaian yang melekat. Tapi hidup tak pernah mengajarkan kepadaku cara melupakan rasa lapar dalam jiwa. Melupakan yang menenangkan jiwa, melihat bintang.” Kata lelaki tua dengan wajah mengarah jauh menembus kegelapan. Sepasang matanya yang disaput habis selaput putih mengerjap, meluruhkan begitu dalam perasaan perempuan tua di sampingnya.

“Tapi, Tuhan tak membiarkanmu begitu saja. Kau mungkin memang harus melupakan bintang atau bahkan rupa istrimu sendiri, tapi sekarang ini, orang-orang datang padamu membawakan rizki.” Kata perempuan tua.

“Ya, tapi entah kenapa untuk itu, Tuhan harus meminta tumbal!”

“Tumbal?”

“Ya, semuanya gelap!” lelaki tua menunjuk sepasang matanya yang tampak memutih, berair, dan melihatnya pun akan terasa ikut berair dan gatal. “Aku tak mengeluhkan kemiskinan dan rasa lapar. Tak apa kalau aku harus membanting tulang seumur hidupku, asal aku masih bisa melihat bintang. Aku masih lebih suka itu. Kau lihat sekarang… meskipun orang-orang datang sendiri membawakan kita rizki, tapi tak berarti apa-apa, karena aku tak melihat apa-apa!”


Hening…


“Seharusnya Tuhan tahu, aku tak keberatan dengan takdir kemiskinan dan rasa lapar. Aku sangat kuat untuk itu. Tapi menjadi belas kasihan orang-orang dan tak bisa melihat apa-apa adalah sesuatu yang sulit untuk kuterima!”


Sedikitnya perempuan tua mulai bersedih jika lelaki tua itu semakin mengeluh tak tertahankan. Tapi ia tak tahu, apa yang bisa membuat suaminya menerima kenyataan.


"Jangan kau teruskan keluhanmu, jangan! Itu lebih tak berguna dari apapun yang tak berguna. Bintang mungkin tak berarti apa-apa jika masih bisa kau lihat kerlipnya sekarang ini. Sementara dengan kenyataan yang Tuhan berikan kau bisa menemukan keindahan bintang dan bulan yang sesungguhnya.”

“Keindahan? Keindahan apa? Aku tak bisa melihatnya sekarang. Bagaimana kau tahu sesuatu itu indah sementara sedikit saja kau tak bisa melihatnya?”

“Mungkin ketika kau berhenti mengeluh!”

“Kau mengatakan itu karena kau tak merasakan. Apa kau bisa menjawab pertanyaan, apakah adil setelah bertahun-tahun kau tak mengeluhkan kehidupanmu yang mencekik, kau terima takdirmu dengan senang hati, tapi Tuhan tak juga puas? Satu-satunya keindahan tersisa berupa terangnya dunia pun diambilnya darimu?”

“Entahlah, aku tak tahu, pak! Kurasa hanya Tuhan yang bisa menjelaskan karena Dia yang memiliki rencana atas ini semua. Tentang alasan kenapa, suatu ketika Tuhan akan menjelaskan dengan caranya. Sebaiknya kau biarkan Tuhan menjelaskan perlahan-lahan dengan berhenti mengeluh, bukan kau biarkan Dia memperingatkanmu dengan kemarahan karena kau pikir kau berhak menentukan hadiahmu sendiri setelah kau merasa hebat dengan keprihatinan selama bertahun-tahun tanpa keluhan.” Kata perempuan tua.


Lelaki tua diam di balik rasa terkesiap mendengar kalimat yang diucapkan perempuan tua di sampingnya. Kalimat itu membuatnya seperti telanjang. Ia benci mendengarnya, tapi sudut lain hatinya mengais makna dari kalimat perempuan tua itu, dan perlahan membenarkannya.


Malam beranjak. Rasa keluh masih membuncah, tapi sedang terbakar dan lelaki tua membiarkan malam dan dirinya luruh

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua