MAYAT YANG BERNYANYI

 Sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas sebuah rumah kosong sembari berkaok-kaok di atasnya. Salah satu di antaranya tiba-tiba turun dan bertengger pada dahan pohon karet, membuat Halimah yang sedang memperbaiki rantai sepeda terkejut.


Halimah berdecak, ia tak akan pulang semalam itu andai Juragan Karman langsung membayarnya. Namun, tengkulak kain itu pergi entah ke mana. Halimah pasrah saja saat pelayannya menyuruh menunggu. Berjam-jam ia di sana demi beberapa lembar uang untuk berobat sang ibu, tanpa menyadari jarum jam telah menunjuk ke angka sebelas.


Lalu, bunyi 'kresek' seperti radio tua mengalihkan perhatian Halimah. Beberapa detik kemudian sebuah lagu anak-anak menggema dari rumah kosong tak jauh dari Halimah dan sepedanya. Nyanyian itu memantul di dinding batanya yang terkelupas di sana-sini. Merayapi tubuh bangunan berwarna putih dengan genting berlumut itu. 


'Tik, tik, tik ....

Bunyi hujan di atas genting

Airnya turuuun tidak terhingga ....'


Angin malam yang bertiup membawa serta nyanyian itu ke telinga Halimah. Makin dekat. Makin nyaring. Ia mengikuti asal nyanyian, mengabaikan ilalang yang sesekali menggores kakinya. Ia bahkan mengabaikan gagak yang terus berkaok, juga bulan pucat yang menggantung ganjil di langit.


'Cobalah tengok dahan dan ranting

Pohon dan kebun basah semua ....'


"Permisi! Apa ada orang?”


Tak ada jawaban. Namun, nyanyian tersebut kembali terulang.


'Tik, tik, tik ....'


Halimah melangkahkan kaki memasuki rumah dengan pasti. Selangkah demi selangkah telapak kakinya menjejak di atas lantai berdebu.


Brak! 


Halimah memekik saat jendela dengan kaca yang sudah pecah tiba-tiba menutup sebab ditiup angin. Lalu, sedetik kemudian, tanpa sempat menormalkan detak jantungnya, matanya tertumbuk pada sesosok tubuh yang terbujur kaku di atas lantai. 


Wajah Halimah memucat bagai bulan di atas langit, sepucat mayat yang baru bangkit dari kubur, mencetak raut ketakutan. Ia berlari tak tentu arah sambil berteriak-teriak.


"Mayat! Ada mayat!”


Bapak-bapak yang sedang bermain kartu di pos ronda menangkap siluet tubuh seseorang di bawah lampu jalanan.


"Mayatnya ... mayatnya bernyanyi," ucap Halimah sebelum kehilangan kesadaran dan tubuhnya ambruk di atas tanah berdebu, tepat di depan pos ronda.


Keesokan harinya seluruh desa gempar, gosip tentang mayat yang bernyanyi menyebar begitu cepat. Bukan. Bukan gosip. Mayat itu nyatanya memang bernyanyi. Perutnya terbelah dan dijahit kasar, di dalamnya polisi menemukan sebuah tape recorder. Sang korban adalah seorang gadis pemandu karaoke.


*** 


"Mayat! Mayat bernyanyi!”


Itu teriakan ketiga kalinya sejak mayat pertama ditemukan. Di dalam perutnya ditemukan hal yang sama, sebuah tape recorder. Polisi sama sekali belum menemukan bukti yang mengarah pada pelaku. Pelaku tak meninggalkan apapun. Tak ada sidik jari. Tak ada jejak kaki. Tak ada darah pelaku, maupun sehelai rambut tercecer. 


Tidak ada kemiripan antara ketiga korban, mereka tak bertautan, tak berhubungan satu sama lain. Kesamaan dari semua korban hanyalah tape recorder yang tertanam di dalam perut dan jenis kelamin. Polisi menyimpulkan ketiganya adalah pembunuhan acak. Sangat berbahaya, sebab ia bisa membunuh siapa saja, membunuh kapan saja, tanpa motif yang jelas. 


Kabar itu membuat semua warga ketakutan. Sebelum magrib, mereka sudah mengunci diri di dalam rumah masing-masing. Ditambah gosip tentang munculnya hantu berwajah pucat dengan perut terbelah bergentayangan, membuat mereka meringkuk dalam selimut tanpa berani ke mana-mana.


*** 


Malam itu Halimah membawa beberapa lembar kain batik menuju rumah Juragan Karman. Ia menggoes sepedanya lebih cepat saat melewati rumah kosong waktu itu. Namun, seseorang mencegatnya. Ia sontak mengerem sepeda hingga rodanya menggilas tanah.


'Tik, tik, tik .... 

Bunyi hujan di atas genting

Airnya turun tidak terkira

Cobalah tengok dahan dan ranting

Pohon dan kebun basah semua ....'


Siapa pun yang mendengar nyanyian itu pasti sepucat mayat. Bukan dari tape recorder, tetapi dari mulut hantu wanita yang kini berdiri di depannya. Nyanyian yang membuat bulu kuduk berdiri. Nyanyian dingin, serak, dan dalam.


Halimah hendak memutar balik, tetapi mengingat lembar rupiah yang harus ia dapatkan untuk membeli obat ibunya, ia urung. Sisa-sisa keberanian muncul. Ia menggoes lebih cepat tanpa memperhatikan apa pun. Baginya, hal yang lebih menakutkan saat itu adalah jika kehilangan ibunya.


Saat melewati danau, perasaannya berubah ganjil. Ia merasa seseorang mengikutinya, tetapi tidak berani menengok ke belakang. Tiba-tiba rantai sepedanya lepas. Halimah berlari, menghempaskan sepedanya ke tanah. Ia tak peduli lagi. Kain batik yang dibawanya berhamburan.


Di belakangnya, Halimah mendengar langkah kaki mengejar. Tubuhnya sudah lemas saat bertemu hantu wanita itu, hingga saat berlari ia pun tak memedulikan sekitar. Kakinya tersandung, tubuhnya terjerembab di atas tanah.


Seseorang menangkap kakinya. "Tolong! Jangan! Pergi! Jangan!" Halimah meronta, menangis, berteriak dengan histeris. 


”Halimah! Ini saya.”


Halimah terdiam seketika. Ia mengenali suara itu. Suara Juragan Karman.


"Ju—juragan?”


"Kamu kenapa? Seperti dikejar setan saja." Benar, itu Juragan Karman. Selain suaranya, Hamilah mengenali kupluk yang selalu dipakai lelaki itu. 


"Memang setan, Juragan," ucap Halimah sembari masih terisak. 


Melihat kain batik yang berhamburan, Juragan Karman langsung mengerti. "Ayo aku temani, kamu mau ke rumahku, kan?”


"Iya, Juragan."


Saat membantu Halimah memungut kain batik, sesuatu terjatuh dari kantong kemeja Juragan Karman. Halimah terbelalak melihat benda itu. Juragan Karman memungutnya dengan santai.


"Sa—saya mau pulang saja, Juragan."


"Tunggu dulu," kata lelaki itu sambil memegang pergelangan tangan Halimah dengan kuat, "kamu mau tahu sebuah cerita?”


"Ti—tidak, Juragan. Saya mau pu—”


"Sssttt!” Lelaki berumur awal tiga puluhan itu kini mengeluarkan sebilah pisau. Sinar bulan memantul di permukaannya yang mengilat. Halimah diam. Ia mematung dalam ketakutan.


Juragan Karman menyalakan benda yang jatuh tadi, sebuah tape recorder. Kemudian nyanyian yang selama ini menghantui warga desa terdengar.


"Sewaktu kecil, lagu ini adalah lagu kesukaanku, sebab ibuku selalu menyanyikannya saat hujan turun. Namun, ayahku yang jahat memukuli ibu hingga ia menjadi jarang menyanyi. Aku kesepian. Ibu berubah menjadi monster. Setelah dipukuli ayah, ia melampiaskan amarah padaku. Setiap hari."


Halimah kini terisak. Ia tak berani berbuat apa-apa. Bulan menggantung ganjil seperti malam itu.


"Suatu malam, ayah memukuli ibu begitu rupa. Saat itu seharusnya perayaan ulang tahunku yang ke lima belas. Saat itu seharusnya aku dan ibu bernyanyi. Kau tahu, Halimah? Aku mengambil pisau dan menusuk ayah berkali-kali saat ia lengah. Sampai setiap lantai rebas dengan darah. Memerah. Basah. Anyir." Juragan Karman menggila.


"Kau tahu apa yang terjadi? Ibu malah memukul belakang kepalaku dengan vas bunga. Aku rebah. Ibu mengambil pisau di genggamanku kemudian berusaha menusukku. Menggoreskan pisau di mana saja. Mengiris bagian tubuhku di mana saja. Lihat telingaku!” Juragan Karman membuka topi kupluk yang selalu dipakainya. Halimah terpekik. Sebelah telinga lelaki itu tidak ada.


"Ia memotong sebelah kupingku. Tidak sengaja memang. Dan hal itu berhasil membuatku tak berdaya. Sakit, tetapi ada yang lebih sakit daripada itu. Ia yang kubela. Ibu yang kusayang." Suara tawa ditingkahi tangisan membuat binatang malam diam layaknya Halimah. Hanya suara gagak berkaok terdengar tak jauh dari sana.


"Aku benci perempuan," ucapnya dengan seluruh kebencian yang tumpah ruah.


*** 


"Mayat! Mayatnya bernyanyi!”


Keesokan harinya warga kembali gempar. Di pinggir danau, mereka menemukan tubuh Halimah bermandikan darah. Perutnya terbelah dan dijahit kasar. Di dalamnya ada tape recorder.


🍁🍁🍁🍁🍁


Rein Hudasediyani 

28 Agustus 2022

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua