Mangga Mak Sulastri

 Mangga-mangga tua tergeletak begitu saja di antara daun-daun kering yang berserakan. Beberapa di antaranya berwarna serupa daun kering itu, menguning kecokelatan, membusuk. Seorang anak berseragam putih dan merah meraih satu mangga yang kulitnya masih hijau dan wangi.


“Yang ini tidak busuk,” ucapnya dengan senyum merekah. Lalu, tiba-tiba sebuah batu sebesar kuku ibu jari menimpa kepalanya. Dia mengaduh dan menjatuhkan mangga tersebut sebelum akhirnya lari terbirit-birit bersama teman-temannya.


Seorang perempuan tua kurus melemparkan batu yang berukuran lebih besar ke tanah, urung melemparkannya pada anak-anak yang telah menghilang di persimpangan jalan menuju sekolah.


“Kenapa, sih, Mak? Cuma sebiji mangga saja Mak pelitnya bukan main. Kalau tidak suka berbagi, tebang saja pohonnya!” ucap Narti yang pagi itu sedang menyapu halaman.


Mak Sulastri bergeming, mengabaikan ucapan tetangganya itu. Dia beranjak menuju rumahnya dengan mulut terkatup. Kaki kecilnya yang rapuh berjalan pelan, sudut matanya menangkap jejak kapak yang tertinggal di batang mangga. Jejak kapak yang ditinggalkan suaminya.


“Heran, jadi orang pelit banget, dijual juga enggak, malah dibiarkan jatuh membusuk daripada ngasih ke orang lain.” Ucapan Narti yang bersungut-sungut masih bisa didengar Mak Sulastri, tetapi dia memilih bungkam. Lalu, kembali ke tempat di mana dia selalu mengawasi mangganya, sebuah kursi kayu yang mulai keropos seperti pemiliknya.


Rumah tempat tinggal Mak Sulastri yang bernuansa putih itu dulunya begitu asri dengan halaman luas yang menghijau. Pot-pot dari tanah liat yang diisi dengan berbagai macam bunga turut menghiasi. Dua kursi dan meja kayu terletak di teras. Kini rumah itu tak lagi terawat. Rumput-rumput dibiarkan meninggi, Mak Sulastri hanya sesekali membersihkannya. Pot-pot tanah liat berlumut dan pecah, bunga-bunga telah mati. Rumah itu kini begitu pedih.


***

 

Matahari pagi bersinar cerah menembus dedaunan. Udara pedesaan yang masuk melalui hidung terasa sejuk. Intan sedang berjalan santai menyusuri desa. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, tetapi mual dan pusing masih dia rasakan. Kehamilan pertama makin terasa berat baginya sebab harus ikut ke kampung halaman suaminya. Ibu mertuanya sakit dan tak ada yang merawat sebab suaminya anak tunggal.


Intan menghentikan langkahnya saat melihat beberapa mangga ranum bergelantungan hingga ke jalan, melewati pagar bambu yang mengelilingi sebuah rumah tua.


“Bang, aku mau mangga itu. Kalau minta izin pada pemilik rumahnya—“


“Jangan, Sayang,” ucap Bayu memotong kalimat istrinya, “nanti Abang belikan di pasar saja, ya.”


Raut wajah Intan berubah muram, dia kecewa, tetapi enggan bertanya saat melihat suaminya ketakutan dan buru-buru mengajak pulang.


“Padahal Abang yang ngajakin jalan, kenapa malah pulang buru-buru? Ada apa, sih, Bang?” tanya Intan yang sudah duduk di teras sambil memijat-mijat kaki.


“Enggak ada apa-apa, Sayang. Pokoknya hindari rumah itu, ya. Kalau mau mangga, nanti Abang belikan di pasar saja.”


“Tapi pasarnya jauh. Ada apa memangnya, Bang? Ibu-ibu tua yang duduk di teras itu pemilik rumahnya, kan? Kalau enggak dikasih, kita beli aja mangganya.”


“Ada apa Bayu?” Seorang perempuan tua berkacamata keluar dari rumah sambil membenarkan gelungan rambutnya yang memutih, kemudian ikut duduk di teras.


“Intan kepengen mangga, Bu,” kata Intan sambil mengelus perut.


“Ooh, nanti Bayu belikan di pasar.”


“Tapi Intan mau mangga di ujung jalan itu. Mangga di pasar dengan memetik langsung di pohonnya pasti beda rasanya, Bu.” Intan bersungut-sungut seperti anak kecil yang tidak dibelikan mainan, bahkan suaranya tercekat karena menahan tangis.


“Itu mangga milik Mak Sulastri, Intan. Tidak seorang pun warga berani memetik, meminta, bahkan memungut mangganya yang jatuh,” ucapnya sembari sesekali terbatuk-batuk.


“Kenapa?” tanya Intan penasaran.


“Entahlah, Mak Sulastri menjadi seperti itu sejak putrinya menghilang. Kalau masih ada, mungkin juga sudah menikah, seumuran Bayu. Mak Sulastri dianggap gila oleh orang-orang sini. Pernah ada seorang warga yang kepalanya berdarah karena dilempar batu. Jadi, enggak ada yang berani mendekat apalagi meminta mangga. Semua mangga dibiarkan begitu saja sampai membusuk.”


*** 


Keesokan paginya Intan kembali melewati rumah Mak Sulastri. Mangga-mangga yang mengilat sebab ditimpa matahari pagi membuat Intan meneguk liur. Namun, setelah mendengar cerita ibu mertuanya, dia tak berani meminta.


Mak Sulastri tak pernah beranjak dari halamannya. Ada saja yang dia lakukan. Entah menyapu daun-daun kering yang berjatuhan, memberi makan ayam-ayam dalam kandang yang terletak tidak jauh dari pohon mangga, maupun sekedar duduk di kursinya.


Hampir setiap hari Intan memperhatikan perempuan tua itu, perempuan yang seakan membuat tembok tinggi dan tebal agar terpisah dari dunia yang orang lain tinggali. Bibirnya mengatup rapat, tak pernah berbicara sepatah kata pun kecuali mengumpat pada mereka yang hendak mengambil mangganya. Mak Sulastri hidup dalam dunianya sendiri.


Pada mulanya orang-orang memaklumi sikapnya. Mereka iba dan berupaya memahami kesedihan hati seorang ibu yang tak mampu menanggung derita karena kehilangan anak. Lalu, warga mulai marah saat dia mengumpat dan melempari orang dengan batu. Beberapa tahun kemudian di dahinya tercetak stempel berwarna merah bertuliskan orang gila. Anak-anak mengoloknya, orang-orang dewasa menghindarinya. Bahkan setelah suaminya meninggal, Mak Sulastri tidak pernah berubah. Dia tetap menjaga mangganya sepenuh hati. Bahkan, saat mangga itu tak berbuah.


*** 

 

Hari itu matahari sudah mulai meninggi. Bayu mengendarai sepeda motor matic-nya dengan perasaan campur aduk. Dia bimbang dan sedih sebab tak ada satu pun mangga bisa ditemukan di pasar. Sementara itu, istrinya pasti sedang menunggu dengan harapan yang besar.


Terlintas di kepala Bayu raut wajah Intan yang memelas. “Nanti anak kita ileran, lho, Mas,” katanya waktu itu.


“Mas sudah enggak sayang aku, ya? Enggak sayang anak kita?” tanya Intan saat Bayu juga belum membelikan mangga, air mata bercucuran di pipinya.


“Kita pulang ke Indramayu saja, Mas. Terkurung di desa terpencil enggak enak kalau mau makan apa-apa. Mangga Mak Sulastri juga enggak dibolehin,” ucap Intan sembari mengemasi pakaian. Bayu kemudian berjanji kalau hari ini dia akan pulang membawa mangga, apa pun yang terjadi. Tidak mungkin mereka pulang ke Indramayu meninggalkan ibunya belum pulih sepenuhnya.


Saat tiba di persimpangan, dilihatnya rumah Mak Sulastri sepi. Entah ke mana perempuan tua itu. Bayu menajamkan penglihatannya pada mangga yang berserak di tanah, ditemukannya satu yang tidak busuk. Pangkal buahnya bahkan masih bergetah. Saat mangga sudah ada di genggaman, saat itu pula Bayu langsung memutar gas motor matic-nya dengan kencang.


“Assalamualaikum.”


“Waalaikumsalam, Mas. Mangganya ada?” tanya Intan dengan mata berbinar.


“Ada, Sayang,” ucapnya sembari menyerahkan mangga dari halaman Mak Sulastri.


“Alhamdulillah ....” Intan berseru senang. “Tapi, kok, cuma satu, Mas? Mana masih ada getahnya.”


“Eh, iya, cuma tersisa satu tadi, memang Mas beli langsung dari pemilik mangga. Baru metik katanya.”


“Oooh.” Intan tak begitu memedulikan dari mana mangga itu berasal. Mangga yang tadi diterimanya sudah ia kupas bersih, lalu dia nikmati.


Kebahagiaan itu ternyata tak sebanding dengan harga yang harus dibayar. Keesokan harinya Bayu menggigil, suhu tubuhnya tinggi. Dia demam. Lalu, tersiar berita bahwa Bayu mengidap penyakit aneh. Dokter tak tahu apa penyakitnya. Dalam tidurnya dia selalu meracau ada sesosok makhluk mencekiknya.


Narti yang kebetulan menyaksikan saat Bayu mengambil mangga Mak Sulastri pun ribut. Lalu, dari mulut ke mulut tersebar berita bahwa Mak Sulastri mengirimkan santet pada Bayu sebab mencuri mangga. Begitu cepat angin membawa kabar tersebut, serupa kapas yang beterbangan. Begitu cepat pula warga menudingkan telunjuk ke wajah Mak Sulastri.


*** 


Keranda jenazah yang diiringi ucapan tahlil melewati rumah Mak Sulastri. Lalu, di atas pohon mangga, sesosok makhluk besar dengan bulu hitam di sekujur tubuh menyeringai menampakkan sederet gigi runcing. Matanya yang merah menatap nyalang pada iring-iringan warga yang mengantar Bayu ke pemakaman.


Mak Sulastri hanya berdiri tanpa bersuara menatap mereka yang membalas dengan tatapan marah. Namun, dia lebih memperhatikan sosok jahat yang telah tinggal ratusan tahun di pohon mangga. Sosok yang menyembunyikan putri kecilnya pada waktu senja kala itu, hingga kini. Sosok yang ia cegah mencelakai warga maupun menculik anak-anak yang berkeliaran di bawah pohon mangganya.


Mak Sulastri beranjak ke dalam rumah sembari menyapu ujung matanya yang basah. Ingatannya melayang pada peristiwa ketika dia menceritakan perihal sosok jahat itu kepada suaminya. Malam ketika suaminya meninggalkan jejak kapak di batang mangga itu. Malam saat suaminya meninggal dengan cara yang sama, kemudian dia memutuskan bungkam. Selamanya.


🍁🍁🍁🍁🍁


Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua