Ullen Sentalu


"Rul, minggu depan kayaknya pengen maen ke Jogja, seperti biasa aku nginep rumahmu ya."


"Iya, silahkan."


"Ntar di Jogja, mau ke museum. Aku dapat 2 tiket gratis, kamu temani aku yo? Oh ya! Namanya museum Ullen Sentalu."


Begitulah percakapanku melalui telepon genggam dengan Andi temanku dari Semarang yang akan berkunjung ke Jogjakarta kota tercintaku.


*****


Hari itu aku menjemput Andi di stasiun Tugu Jogja. Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore, kereta Joglosemarkerto yang sebentar lagi akan tiba. 


"Hei Rul, wuih duda satu ini makin ganteng ya!" 


Itulah Andi, sifat ceplas ceplos yang tidak pernah hilang sejak dahulu. Kami dua sahabat semasa kuliah dahulu, satu kampus di kota Semarang dulu. Kini aku kembali pulang ke Jogja dan sudah menikah, namun istriku sudah meninggal saat melahirkan anak pertama kami. Shila Lestari, gadis manis yang wajahnya serupa dengan istriku. Berbeda denganku, Andi tetap saja betah dengan gelar perjakanya.


"Apa kabarmu Ndi? Makin sukses saja bisnismu! Wajahmu nampang di majalah bulan lalu, keren bro!"


Andi Permana, anak tunggal dari salah satu konglomerat terkenal di Semarang. Rupanya bakat bisnis bapaknya menurun kepadanya, jika otomotif menjadi pilihan Suhendri, bapak Andi. Maka bisnis kuliner dan pariwisata menjadi andalan Andi. Dan berkunjung ke Jogja ini tidak lain sebagai proyek observasinya dalam bisnis, tanpa perlu aku tanyakan langsung.


"Hari ini aku numpang di rumahmu ya, kangen aku sama keponakan cantikku itu, sudah aku bawain oleh-oleh yang banyak neh. Sudah masuk TK ya Shila anakmu bro?"


"Iya bro, makin mirip saja Shila dengan istriku."


"Mukamu biasa saja bro, sudah berapa tahun ini dari kepulangan istrimu? Sudah saatnya mencari mama baru buat Shila bro!" 


*****


Hari ini kami akan berangkat ke museum. Pagi sekali aku sudah bangun, menyiapkan sarapan untuk anakku dan sahabatku Andi tentu saja. Biarpun aku adalah seorang ayah namun urusan masak memasak aku jagonya. Selepas sarapan dan menunggu mbok datang, jam 8 tepat kami akan berangkat sekalian mengantar putri tersayangku sekolah. Mbok akan datang pagi dan pulang setelah aku sampai rumah, hadirnya mbok amat membantuku, terutama saat menemani Shila saat aku bekerja. 


Aku seorang dosen di salah satu perguruan negeri swasta di Jogja. Di situlah aku bertemu permata hatiku, Andini, gadis jutek yang mempunyai senyum manis. Kami sesama dosen dan cinta yang besar untuknya meluluhkan hatinya dan kami menikah setelah pendekatan selama setahun.


Andini gemar menari, hal itu aku ketahui saat mendekati dirinya. Gerakannya yang anggun begitu menghipnotis ku. Keturunan Jogja asli melekat pada dirinya, ayahnya pun masih satu garis keturunan abdi dalam kerajaan Mataram dulu.


Selama di perjalanan Andi sedikit banyak menceritakan tujuan kami, museum Ullen Sentalu. Katanya, Museum Ullen Sentalu merupakan kependekan dari “ULating bLENcong SEjatiNe TAtaraning LUmaku” yang memiliki arti “Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan”. Filosofi tersebut diambil dari sebuah lampu minyak yang biasa dipergunakan saat pertunjukan wayang kulit.


Sudah tidak diragukan Andi ingin menambah koleksi hasil karya lukisannya dengan mencari inspirasi dari museum ini. Restoran tempat usaha Andi memang memiliki ciri khas, yaitu adanya lukisan-lukisan bertema penari Jawa yang bertebaran di dinding restoran.


Kami mengikuti arah dan instruksi pemandu wisata, namanya Maharani, piawai sekali menjelaskan setiap detail sejarah dan keunikan museum ini. Tentunya, Maharani ini sabar sekali menjawab pertanyaan Andi yang tiada habisnya. Sesekali saja aku memperhatikan uraian yang dijelaskannya, sedikit aku perhatikan Maharani mencuri mata dan tersenyum kepadaku.


Sampailah kami di ruang Putri Dambaan, yang menampilkan koleksi foto pribadi putri tunggal Mangkunegara VII, Gusti Nurul dari kecil hingga menikah. Semakin aku melihat foto yang ada dinding, entah kenapa kepalaku pusing serasa berputar. Tiba-tiba suasana sekitarku seperti di taman belakang museum. Suara gamelan terdengar sayup kudengar, kuikuti arah suara dan berhenti kala kulihat sebuah gerbong kereta tua.


Nampak di dekat gerbong kereta tua itu, seorang gadis berpakaian penari Jawa, ayu dan manis parasnya. Tersenyum malu kepadaku, kubalas dengan anggukan kepala.


Gerakan gemulai gadis Jawa tersebut seakan menghipnotisku, suara gamelan yang mengiringi membawa syahdu suasana. Mataku seakan tak berkedip memperhatikan setiap gerakan yang selaras dengan musik. Lambat laun musik melambat dan hening, gadis Jawa yang menari seketika berubah seakan mirip sekali dengan mendiang istriku, Andini.


Degup jantung semakin cepat seiring Andini melangkah mendekat ke arahku. 


"Mas Sahrul, akhirnya kita berjumpa. Bagaimana kabarmu? Mari kita mengobrol disana." Tunjuk Andini ke arah gerbong kereta tua.


Sampai di dalam gerbong kereta yang nampak dari luar terlihat tua, ternyata bagian dalamnya begitu indah. 


"Kau ingat kencan pertama kali kita mas? Dari Jogja kita naik kereta ke Semarang. Bahkan momen bahagianya saat kamu akhirnya melamar aku, lagi-lagi di dalam perjalanan ke Semarang namun saat itu dengan menggunakan motor vespamu. Apa kamu ga bertanya kenapa aku bisa langsung menjawab 'iya' saat itu?"


"Kenapa memangnya, dek? Bukankah memang kita saling mencintai?"


"Kamu salah mas, aku menerimamu karena aku ingin membuat temanmu cemburu. Iya, temanmu yang bernama Andi. Aku sebelumnya berpacaran dengannya, namun dia memutuskan aku karena tahu kamu juga mencintai aku. Sebegitu setia kawannya sahabatmu itu, mas. Tapi ada satu alasan lainnya."


"Apa itu?"


"Karena ada satu wanita cantik yang sangat tulus menyayangi kamu, aku tidak ingin kamu menikah dengannya. Apa kamu benar-benar tidak ingat Maharani? Kamu baru saja bertemu dengannya."


"Maharani sang pemandu wisata museum ini?"


"Iya, dia dulu salah satu staff di perguruan tinggi tempat kita mengajar bersama. Namun dia memergoki aku dengan temanmu, dan akulah yang menyebabkan dirinya dikeluarkan disana dan berakhir bekerja disini."


"Aku semakin tidak mengerti apa yang kamu katakan, Andini."


"Setelah kita menikah, aku dan Andi masih menjalin kasih dan hadirlah Shila, mas. Apa kau tidak sadar walau wajahnya serupa denganku tetapi matanya yang kecil dan alisnya yang lebat sangat mirip dengan Andi."


"Apa maksudmu? Kamu jangan mengada-ada, dek!"


"Ini satu-satunya kesempatan aku menjelaskan kepadamu, mas. Semoga kamu memaafkan aku. Dan mulailah mencintai Maharani, cintanya kepadamu amat besar, mas. Akupun tidak ingin menghapus nasab atas Shila anak kesayanganku."


Rasa kaget dan tidak percaya membuat kepalaku semakin pusing tidak karuan. Gerbong kereta ini seakan memutar kencang dan seakan menghempaskan tubuhku dari ketinggian.


"Akhirnya kau bisa kembali Rul. Semoga kamu bisa memaafkan aku dan Andini, Rul."

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua