Bougenville di Taman Surga



Rumah Sakit Umum Daerah Bekasi tiba-tiba berubah suasana menjadi duka hari ini. Telah meninggal dunia hari ini, tanggal 8 September 2007, seorang wanita berusia 52 tahun, yang bernama ibu Darmi. Tiba-tiba nafasnya menjadi tidak teratur dan berhenti akibat serangan jantung dan penyakit magh akut yang dideritanya. Meninggalkan seorang suami dan ke empat anak serta seorang cucu yang disayanginya.


Tanah merah yang sebelumnya rata kini telah berlubang ukuran 2x1 meter, bersiap menanti penghuni yang akan menempatinya. Tiada tiupan angin yang biasa menggoyangkan dahan dan ranting. Alam seakan mengheningkan cipta. Seakan turut merasakan duka seorang suami yang sedang bersedih, sesak hatinya tidak bisa mencintai lagi raga wanita yang telah mendampingi hidup selama 30 tahun. 


Sirine ambulance mengisi keheningan area pemakaman, semua kepala tertunduk dalam. Iringan isak tangis turut mewarnai, begitu juga dengan keempat anak ibu Darmi hadir mengitari lubang pemakaman tersebut.


"Siapa kali ini yang meninggal kawan?" Cempaka putih bertanya.


"Seorang ibu yang sudah berusia lanjut sepertinya, lihat lelaki tua yang terlihat paling bersedih itu, sudah pasti itu suaminya." ujar Melati


"Iya, itu pasti suaminya. Tidakkah kau lihat keanehan kerumunan itu? Lihat ada seorang gadis yang tidak menangis, namun tatapannya kosong. Menurutku itulah kesedihan yang terdalam." sahut Kamboja menjelaskan apa yang dilihatnya.


"Siapakah diantara kita akan menghuni diatas kuburan ibu tersebut?" tanya Cempaka putih, pada kedua sahabatnya.


Diam mereka semua tidak ada yang menjawab pertanyaan Cempaka Putih. Mereka sesaat memperhatikan prosesi pemakaman yang begitu khidmat dan syahdu. Penghuni taman surga telah bertambah. Ibu yang semasa hidupnya melakukan segalanya dengan sempurna. 


Sebagai istri dirimu mengabdi dengan segenap jiwa raganya, tiada pernah dia menyusahkan hati sang suami. Ibu terbaik yang dimiliki ke empat anak perempuannya, ibu yang bukan hanya menjadi panutan namun juga bisa menjadi sahabat bagi anaknya. Kelembutan hati ibu tersebutlah warisan terbaik bagi keempat anak perempuannya.


Anak bungsu ibu tersebut tidak setetes pun mengalirkan air matanya. Dirinya baru tiba dari New York, negara tempat dirinya menuntut ilmu. Bersusah payah demi mendapat tiket pesawat menuju tanah air agar sesegera mungkin bisa menyaksikan sang ibunda di akhir hayatnya. 


Sebentar lagi dia akan lulus dan di wisuda, sidang tesisnya pun mendapat nilai memuaskan. Hanya beberapa hari menjelang hari kelulusannya dan harus mendapati ibunda sudah berpulang.


"Lihat gadis itu semakin pucat wajahnya, sepertinya dia akan terjatuh!" seru Melati.


"Oh tidak, dia terjatuh. Bener kan seperti yang aku katakan, dirinya yang paling dalam rasa kehilangannya." kata Kamboja.


"Siapa pria tampan itu? Sedari tadi selalu memperhatikan gadis tersebut, ah so sweetnya. Tangan kekarnya menjadi sandaran tubuh gadis itu sekarang." ujar Cempaka Putih.


Sigit Pramono, lelaki Jawa yang tampan seorang angkatan udara. Tubuh tinggi tegap menjadi pembeda sedari Sigit remaja, orang tuanya meluluskan keinginannya menjadi pengabdi negara, berkat bakat dan kepintarannya bukan hal sulit untuk lolos uji masuk angkatan udara. 


Sedari SMA, Sigit sudah jatuh cinta pada Miranda. Gadis keturunan Jawa Timur, anak bungsu dari bapak Slamet dan ibu Darmi yang hari ini telah berpulang. Gadis manja juga keras pendiriannya, gigih mengejar cita-cita hingga ke negeri seberang. Tahun ini gadis pujaannya lulus, melamarnya telah menjadi keinginan Sigit jauh-jauh hari.


Rombongan telah meninggalkan area pemakaman. Pohon Bougenville berwarna ungu putih menjadi pilihan keluarga ibu Darmi sebagai penghuni diatas kuburan orang terkasih mereka. Bunga yang terlihat lemah namun kuat maknanya. 


Tamat



Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua