Pesan Rindu Sang Mantan

Bandung sedang dilanda hujan deras ketika ia tertinggal kereta Turangga. Perempuan itu duduk putus asa di atas bangku panjang sembari mengunyah permen karet. Seseorang duduk di sebelahnya. Lelaki yang tampaknya hendak ke Jakarta, terlihat ia memegang tiket kereta Parahyangan. Lama saling diam, akhirnya lelaki itu membuka percakapan:


“Mau ke Jakarta juga?“


“Tidak ke mana-mana.“


“Kenapa ada di stasiun?“


“Mungkin tersesat. Kamu?“


“Mari tersesat bersama.“


Bertukar kartu nama, dan mengobrol semalaman. Benar-benar sebuah awal perjumpaan yang menggoda, di saat hujan sedang turun deras.


“Saya harus membeli tiket Argo Wilis pagi ini,“


kata perempuan itu setelah mengembalikan jaket pada pemiliknya.


“Saya boleh ikut?“


“Ini Senin, seharusnya kamu bekerja.Penggemarmu sudah menanti di depan televisi.“


“Alasan adalah nama tengahku.“


Mereka tertawa bersama dan memasuki gerbong kereta Argo Wilis, menikmati 12 jam perjalanan kemudian.


“Usiamu berapa sih sebenarnya?“ tanya lelaki itu setelah kereta melaju kira-kira empat jam.


“Yang jelas aku lebih tua darimu.“


“Dan kenapa kamu belum menikah juga? Kamu cantik, cerdas, berpenghasilan.“


Perempuan itu memikirkan kata-kata terbaik yang harus diberikan pada orang baru, yang cukup gila dengan mengubah tujuan dan menghanguskan tiket kereta, untuk membuat segalanya mudah dan sederhana.


“Aku tidak bisa menikah.“


“Tak cukup ada lelaki buat perempuan semenarik dirimu?“


“Masalahnya bukan itu,“ lelaki itu menatapnya intens. Membuat ia jengah dan mendadak ingin tertawa. “Oke, untuk apa aku menyembunyikan diri dari lelaki terkenal sepertimu. Aku perempuan Indonesia yang tidak akan pernah dinikahi oleh laki-laki mana pun.“


“Karena?“


“Aku mandul.“


“Bagaimana kau tahu?“


“Sesuatu tumbuh di rahimku. Sudah diamputasi.“


“Oh.“


“Cuma itu komentarmu?“


“Ya aku harus bilang apa?“


“Setidaknya tunjukkan wajahmu yang prihatin.“


“Kau bukan dalam posisi yang layak dikasihani. Kau perempuan yang merdeka, sadar keadaan, dan tidak meminta belas kasihan.“


Dari situlah segalanya bermula, hingga tujuh tahun kemudian, Dewi mengambil alih seluruhnya, hari ini. 


Berita bahwa Angga Kurnia akan menjadi tokoh penting telah tersiar di mana-mana. Bahwa Angga ternyata hanya memiliki anak perempuan, itu juga ia tahu. 


Angga Kurnia mengetuk pintu kamar 710, yang tak lama kemudian terbuka. Seraut wajah lama muncul dalam senyum paling indah.Tak ada kalimat terucap. Mereka hanya saling menatap. Duduk di sepasang kursi di balik kaca, memandang keluar bersama. Obrolan kecil terjadi seputar rencana perusahaan di mana perempuan itu bekerja, perusahaan tempat Angga akan menjadi direktur. Dengan begitu, Angga akan menjadi bosnya. Saat Angga ke toilet, perempuan itu membubuhkan beberapa tetes obat tidur cair ke dalam kaleng minumannya.


Perempuan itu, bernama Putri Kemuning menghabiskan suapan tuna sandwich terakhir, seraya meraih ponsel yang baru saja berkedip.


[Morning maam, executive meeting jam 10. Dirut baru, Angga Kurnia, akan memaparkan visi tahun depan.] Itu sekretarisnya. 


Ia kembali ke kamar, membereskan riasan, dan menatap syal merah hati hadiah Angga Kurnia semalam, sebagai tanda rindu mantan kekasih. Ia bermaksud mengenakannya pagi ini agar Angga tahu betapa berharganya sebuah pemberian. Tapi ia tahu Angga tak mungkin datang, Putri Kemuning menutup berita online yang dibacanya dari gawai, dan memesan karangan bunga duka.

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua