Memeluk Luka
“Ibumu itu gila!” Kiara memilih diam mengunci bibirnya rapat-rapat setiap kata-kata itu meluncur dari mulut-mulut yang sesungguhnya ia tidak kenal betul. Jika melawan omongan itu, bisa jadi ia dianggap bodoh dan tak tahu diri. Toh, semenjak ia lahir, ia tak pernah melihat ibunya. Ia tak tahu harus membela dengan cara bagaimana. Ibunya meninggal beberapa hari setelah melahirkannya. Berbagai penilaian yang ditujukan pada ibunya seperti lemparan batu-batu tajam pada gundukan tanah. Batu-batu dan kerikil tajam itu terhempas di atas gundukan tanah tanpa sedikit pun terjungkal ke tempat lain. Kecuali saat ada angin kencang yang itu pun tak kan muncul setiap hari. Ibunya sudah mati. Namun, lemparan-lemparan batu dan hantaman kerikil tajam masih dilemparkan bertubi-tubi. “Kamu percaya jika ibumu itu tidak waras?” Niyasa, kawan SMA-nya tiba-tiba bertanya. Entah dari mana ia turut mendengar ucapan itu. Mungkin dari mama tirinya, atau ayahnya sendiri saat ia berkunjung ke rumahnya untuk sek...