Mak Uti.

Dua hari terakhir ini ibuku tak henti menelpon menyuruhku pulang. Aku heran, tidak biasanya ibu bertingkah seperti ini. Mengapa tidak suruh aku pulang jauh-jauh hari sehingga aku bisa mempersiapkan diri. Lagipula, seminggu lagi ada ujian akhir semester. Ah ibu, apa tidak bisa menunggu sebulan lagi? Aku menggerutu dalam hati. Konsentrasiku untuk mengerjakan tugas kuliah yang kian menumpuk buyar sudah. Kuputuskan keluar sebentar mencari udara segar.


Sayup-sayup kudengar senandung puji-pujian dari pos ronda dekat kosku. Aku tak terlalu mengerti isi pujian berbahasa Jawa tersebut. Tiba-tiba saja kakiku melangkah menuju tempat itu. Kulihat sesosok wanita tua berbalut mukena putih sedang duduk di atas hamparan koran bekas. Hanya cahaya dari lampu teplok yang tergantung di dinding sebagai penerangan di sana.


Mak Uti. Begitulah orang-orang biasa memanggilnya. Sejak aku tinggal di kota ini, ia memang seringkali terlihat di pos ronda ini menunggui barang dagangannya. Aku tak tahu apakah ada yang membeli dagangannya tersebut atau tidak. Biasanya ia telah duduk di sana saat aku berangkat kuliah dan kusempatkan untuk menyapanya sambil lewat.


Ketika ia telah selesai menyenandungkan syair pujian, aku mendatanginya seraya mengucapkan salam. Dengan ramah ia mempersilakanku duduk di dekat kotak dagangannya. Sempat kulihat sekilas isi kotak tersebut, ada makanan ringan, gula-gula, dan cokelat. Rupanya jajanan anak-anak. Aku sendiri sebenarnya bingung apa yang akan kulakukan di sini.


“Saya sedang bingung, Mak,” ujarku saat ia bertanya mengapa aku ada di sana.


Dikeluarkannya sebuah bungkusan kecil dari plastik hitam. Aku tak terlalu yakin bungkusan apa itu hingga ia meletakkannya di depanku yang kini duduk berhadapan dengannya.


“Sudah makan, Nduk?” tanyanya.

“Sudah, Mak. Mak makan dulu saja,” jawabku.

“Ayo makan sama Mak. Kebetulan ada rezeki hari ini,” ujarnya lagi sambil tersenyum menampakkan gigi-giginya yang rapi.


Setelah meyakinkannya bahwa aku sudah makan, ia menyendok nasi itu sedikit demi sedikit dengan jari-jari tangannya. Ingin rasanya aku menangis menyaksikan wanita tua ini makan. Segenggam nasi dengan lauk sebuah tempe dilahapnya dengan nikmat. Padahal baru saja aku menghabiskan sepiring besar nasi hangat plus ayam panggang lengkap dengan sambal dan lalapannya. Tapi rasanya makanku tadi tidak senikmat Mak Uti. Sengaja kubiarkan Mak Uti menghabiskan makanannya tanpa mengajak ia bicara. Aku tak tahu sudah berapa kali ia makan hari ini.


“Rumah Mak di mana?” tanyaku saat ia telah selesai makan. Kuusahakan agar pertanyaanku ini tak menyinggung perasaannya.

“Itu! Itu rumah Mak sebelah sana,” jawabnya sambil menunjuk-nunjuk sebuah rumah berlantai dua yang hanya tiga rumah jaraknya dari pos ronda.


Rumah yang besar dan bagus. Tapi mengapa ia berjualan di sini? Di mana anak-anaknya? Lalu mengapa makannya hanya… ah, aku tak ingin mengatakannya lagi.


"Mak asli sini?” tanyaku lagi.

“Ndak. Mak asli Purwodadi, bapak yang asli Jakarta,” jawabnya.

“Oh, jadi Mak tinggal sama bapak di sini?” Ah, lama-lama aku seperti wartawan saja; banyak tanya.

“Bapak sudah lama meninggal. Sekarang Mak tinggal sama Cici, anak perempuan Mak. Itu rumah Cici, Mak numpang tinggal di sana.”


Tuhan… Aku kira cerita seperti ini hanya ada dalam sinetron atau reality show yang dibuat-buat itu. Kupancing dengan hati-hati agar Mak Uti membeberkan kisah hidupnya. Sejak Pak Bejo, suaminya meninggal ia tinggal bersama putrinya di rumah itu. Tapi ia lebih sering menyebut kata “numpang tinggal” daripada “tinggal bersama”.


Awalnya ia bersikeras ikut putrinya yang sudah berkeluarga karena ia tak sanggup lagi memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Namun kenyataannya, justru ia yang diperbudak oleh anak kesayangannya itu. Pantas saja, terkadang aku melihat Mak Uti bersih-bersih di rumah tersebut. Ia juga terpaksa berjualan karena Cici hanya akan memberinya makan dan tempat tidur jika ia membawa uang saat pulang. Jika tidak, Mak Uti akan tidur di pos ronda. Ah, aku bahkan tak pernah tahu tentang hal ini.


“Maaak! Mak Utiii…!”


Seorang lelaki seusiaku menghampiri kami sambil berteriak.


“Mana duit? Aku minta duiiit!” teriaknya lagi membuat gendang telingaku hampir pecah.

“Mak ndak ada duit, Fandi,” ujar Mak Uti terbata-bata.

“Bohong! Itu apa? Mak tadi makan, kan?” anak yang disebut Fandi itu menunjuk-nunjuk bungkusan bekas makanan tadi.


Aku tak tahan melihat kelakuan anak muda itu. Sebelum Mak Uti menjawab aku menghadang anak kurang ajar itu.


“Tidak! Mak Uti tidak makan! Aku yang tadi makan. Kau mau apa? Mau minta duit dariku? Hah?!” tantangku padanya.


Anak seperti dia memang harus diberi pelajaran. Tak tahu sopan santun. Dia pikir dia siapa? Seenaknya saja membentak orang tua. Diajak berkelahi pun aku tidak takut.


“Heh, siapa lu? Gue gak ada urusan sama lu! Minggir sana!” teriaknya padaku.


Kulihat Mak Uti hendak melerai kami, tapi tak kubiarkan.


“Biar, Mak! Anak tak tahu adab ini harus dikasih pelajaran,” kataku pada Mak Uti sambil menghalanginya agar tak jadi bulan-bulanan si Fandi.

“Lu yang pergi! Atau gue panggil warga biar lu tahu rasa!” tantangku lagi padanya.


Anak itu hanya menggeram tanpa melakukan apa-apa.


“Awas! Akan kulaporkan pada Mbak Cici biar kau tak boleh masuk rumah!” ancamnya sambil menunjuk dan menatap tajam pada Mak Uti. Kutepis tangannya yang penuh dengan gambar-gambar aneh.


Ia lalu pergi meninggalkan kami. Kulihat Mak Uti terduduk lemas. Segera kusodorkan sisa air putih dalam gelas agar diminumnya.


“Siapa dia, Mak?” tanyaku setelah melihatnya lebih tenang.

“Fandi, anak bungsu Mak,” jawab Mak Uti. Suaranya hampir tak terdengar.


Fandi adalah satu-satunya anak lelaki Mak Uti. Karena itulah ia menjadi anak kesayangannya. Segala yang diinginkannya pasti akan dipenuhi, bahkan tak ada yang berani menegurnya ketika ia tak lagi pergi ke sekolah, termasuk Mak. Pergaulan dengan para preman kampung membuat kelakuannya semakin hari semakin menjadi-jadi. Beberapa kali ia tertangkap polisi karena terlibat aksi tawuran tapi selalu dibebaskan kembali karena tak cukup bukti. Awalnya ia memang ikut tinggal di rumah Cici, tapi tak lama kemudian diusir karena kedapatan mencuri uang suaminya. Kehidupan jalanan dan kawan-kawan premannya itulah yang kemudian menerimanya.


“Tadi kamu bilang sedang bingung, makanya ke sini. Memang bingung kenapa?”


Ah, Mak Uti, aku bahkan sudah lupa kapan aku mengatakannya. Ia memang sosok yang penuh perhatian. Padahal baru saja ia diperlakukan semena-mena oleh putranya sendiri, tapi tetap peduli pada orang lain seperti diriku ini.


“Saya lagi kesal sama ibu, Mak,” ucapku malu-malu.

“Kenapa tho, Nduk? Masak ibumu bikin kamu kesal?”


Kuceritakanlah padanya bagaimana ibuku menghubungiku setiap jam bahkan saat aku sedang belajar di kelas hanya untuk memaksa agar aku pulang secepatnya. Alasannya ibu kangen lah, khawatir takut ada apa-apa lah, dan berbagai alasan lainnya yang tidak cukup penting untuk meyakinkanku agar pulang menyeberang lautan.


“Kalau sudah seperti itu, lebih baik kamu pulang. Tidak baik membiarkan ibumu khawatir, apalagi sampai kau marah padanya,” ujar Mak Uti saat kumintai saran.

“Kekhawatiran seorang ibu tak pernah tidak beralasan. Pulanglah, jangan sampai kau menyesal,” lanjutnya lagi.


Benar juga apa kata Mak Uti. Baiklah, aku akan memikirkannya kembali dan menghubungi ibu secepatnya. Malam semakin larut dan kantuk mulai menyerangku. Belum ada tanda-tanda bahwa Mak Uti akan membenahi barang-barangnya.


“Sudah malam, Mak tidak pulang?”


Mak Uti hanya mematung. Sepertinya aku tahu apa yang sedang ia pikirkan. Aku jadi merasa bersalah karena telah membuat masalah dengan anak sialan tadi. Duh, bagaimana ini? Kasihan jika Mak Uti harus bermalam bersama nyamuk-nyamuk nakal yang sedang berpesta di pos ronda ini.


“Mak, mau ikut saya?” tanyaku lagi.

Wanita tua itu terdiam sebentar sebelum akhirnya menjawab, “Tidak apa-apa. Mak akan pulang nanti. Kau pulang saja dulu. Sampaikan salam Mak pada ibumu jika kamu jadi pulang.”

“Apa Mak khawatir?” Aduh, aku salah tanya lagi!

“Iya, sedikit.”


Setelah mencium tangannya, aku kembali ke kos dengan perasaan yang lebih lega. Sebenarnya aku tak tega meninggalkannya sendiri seperti itu. Aku takut terjadi apa-apa padanya, wanita tua yang malang.


Malam itu juga aku berkemas untuk pulang kampung. Tak ingin kubiarkan ibu menunggu lebih lama. Ah, Mak Uti membuatku merindukan ibu.


Tiga hari kemudian aku tiba di rumah. Gara-gara kehabisan tiket pesawat, aku menggunakan jalur darat. Badanku rasanya remuk dan mataku hampir tak dapat lagi kubuka karena tak mendapat pelayanan yang baik selama perjalanan tiga hari dua malam dengan bus itu. Ponselku juga kehabisan tenaga sehingga banyak pesan masuk begitu aku memberinya asupan gizi lagi di rumah.


Kubaca dengan sabar pesan masuk tersebut satu per satu. Rata-rata isinya ancaman jika aku melupakan oleh-oleh begitu kembali nanti. Yang lainnya adalah pemberitahuan tugas, persiapan ujian, dan beberapa undangan rapat organisasi. Tapi di antara sekian banyak pesan itu ada satu yang membuatku terkejut bukan kepalang. Sebuah pesan dengan bunyi seperti ini:


"Tadi malam tempat kita diserang lagi dan mereka merusak semuanya, termasuk kos kita yang jadi sasaran. Tak ada yang tahu bagaimana kejadian pastinya, tapi Mak Uti ditemukan sudah meninggal di pos ronda dengan pecahan beling tertancap di perutnya."


Segera kutelepon Riana, teman kos yang mengirim pesan itu. Kembali diceritakannya peristiwa itu secara detail termasuk siapa saja yang menjadi korban selain Mak Uti.


“Siapa pelakunya?” akhirnya kutanyakan juga hal itu.

“Biasa, preman kampung yang suka bikin onar. Mereka mabuk dan melakukan penyerangan begitu saja.”

“Fandi?”

“Bebas lagi.”


Terngiang kembali di telingaku percakapan terakhir antara aku dan Mak Uti:


“Apa Mak khawatir?”

“Iya, sedikit.”


Mak Uti benar, kekhawatiran orang tua, terutama ibu, pasti memiliki alasan. Tak terasa air mataku menetes pelan saat kutemui ibu dan berkata padanya, “Bu, aku ingin menyampaikan salam dari orang yang membuat anakmu ini pulang untuk bertemu dan minta maaf padamu hari ini.”


❤️❤️❤️

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua