Citra-citra Seorang Wanita

 Citra-citra Seorang Wanita

Sebagai seorang ibu dari tiga orang putra, saya cukup familiar dengan penuntutan untuk tampil dengan citra yang baik. Entah citra sebagai seorang perempuan, atau seorang istri, bahkan sebagai seorang ibu.

Masyarakat yang mayoritas menggolongkan citra perempuan yang baik adalah perempuan yang mahir memasak dan perempuan yang sigap melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Bahkan citra seorang istri yang baik terang-terangan dijelaskan saat suami melakukan kesalahan atau berselingkuh, maka yang menjadi bulan-bulanan adalah citra seorang istri yang tidak cukup mumpuni menjadi penyebabnya. Begitu juga saat melahirkan anak, citra ibu yang baik adalah yang bisa melahirkan secara pervaginal atau secara normal, citra ibu yang baik yang sukses menyusui anaknya selama dua tahun penuh, dan citra ibu yang baik sempurna yang memberikan menu MPASI yang baik atau istilah sekarang menu MPASI bintang empat. 

Saya tidak menganggap hal itu jahat, buruk atau sebaiknya ditiadakan. Hanya saja sebaiknya hal tersebut jangan dijadikan penghakiman. Cukup dijadikan sebuah standar. Standar yang tidak wajib untuk harus dipenuhi. Sama seperti kehidupan, adakah kehidupan seseorang yang sempurna, maka tetapkan standar itu hanya sebagai pedoman dasar saja.

Kalau ada wanita yang tidak mahir memasak, apakah dia harus memaksakan dirinya memenuhi pencitraan untuk menjadi perempuan yang sempurna yang bisa memasak itu?

Lalu bagaimana dengan wanita yang akhirnya terpaksa melahirkan secara operasi secar, apakah harus memaksakan dirinya, nyawanya sendiri untuk tetap menjalani proses kelahiran secara pervaginal atau biasa disebut secara normal?

Lalu bagaimana dengan wanita yang tidak bisa menyusui bayi selama dua tahun penuh dan dirinya terpaksa memberi bayinya susu formula?

Apakah akhirnya wanita-wanita tersebut disebut citra buruk dari seorang wanita?

Wanita itu kompleks, Iya. Saya seorang wanita dan saya mengakui hal tersebut. Bisa jadi salah satu alasannya adalah karena hidupnya wanita itu sendiri sudah kompleks dengan pemenuhan-pemenuhan penggambaran sebuah citra wanita sempurna.

Sebut saja citra menjadi seorang ibu rumah tangga. Menjadi ibu rumah tangga merupakan pekerjaan yang tidak gampang dan memerlukan kesabaran. Ibu rumah tangga yang baik pandai mengatur waktu dalam mengerjakan setiap urusan rumah. Ibu dituntut untuk mengerjakan setiap pekerjaan rumah sendiri. Kegiatan itu meliputi memasak dan menghidangkan makanan, membersihkan dan memelihara rumah, membeli barang-barang kebutuhan keluarga, bertanggung jawab untuk mendidik anak-anak, dan sebagainya. Ibu memiliki tanggungjawab besar dalam melayani semua anggota keluarga. Kegiatan yang sering dilakukan dan dianggap sebagai hal utama adalah menyiapkan makanan untuk anak-anak dan suami. 

Citra ibu menegaskan bahwa pekerjaan menjadi ibu rumah tangga memerlukan ketekunan. Ibu rumah tangga sejati terbiasa mengelola segala pekerjaan rumah sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa wanita harus bisa melakukan segala hal terutama dalam mengelola rumah. Tuntutan itu membuat para ibu memutuskan untuk tidak menggunakan jasa asisten rumah tangga.

Itu baru citra seorang ibu rumah tangga, ada lagi citra ibu pekerja keras. Sosok ibu memang selalu lekat di hati anak-anaknya. Segala jerih payah dan keringat yang dikucurkan oleh ibu hanya demi buah hati semata. Apalagi ibu yang menjalankan dua peran sekaligus, sebagai seorang ibu rumah tangga dan juga seorang kepala keluarga. Dalam kondisi normal, yang menjadi pemimpin dalam keluarga adalah seorang ayah. Akan tetapi, ketika sosok ayah telah tiada, peran tersebut akan berpindah tangan kepada ibu. Menjadi seorang pemimpin di dalam keluarga tentu memaksa ibu untuk memikirkan sumber penghasilan untuk bertahan hidup. Ia dituntut menjadi wanita tangguh dan pekerja keras di tengah peliknya kehidupan. 

Mengenai peran ganda ibu sebagai sosok yang mengurus rumah dan juga pencari nafkah. Hakikatnya, seorang ibu itu tempatnya di rumah dan mengurus keluarga. Namun, akan berbeda kondisinya jika peran pencari nafkah sudah tiada. Ketangguhan ibu akan diuji oleh peran barunya sebagai penghasil keuangan keluarga. Dalam hal ini, ibu akan bekerja di luar rumah dan sedikit mengurangi peranan di dalam rumah. Tuntutan tersebut perlu dimaklumi karena sudah menjadi kewajaran bahwa kita tidak bisa menjalankan dua hal yang bersamaan secara maksimal.

Seringkali ditemui sosok ibu yang bekerja sebagai pekerja serabutan yang rela mengerjakan segala macam pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Meski uang yang didapat terasa kecil, tetapi cukup membantu menambah pendapatan keluarga. Citra ibu tersebut melekat pada kesehariannya bekerja membuat kue dan menjualnya dari satu sekolah ke sekolah lain. Selain itu, juga kerap menerima tawaran tetangga untuk membantu membereskan pekerjaan rumah tangga. Setiap pagi dan sore, ibu juga menjalani profesi sebagai tukang bersih-bersih di taman kota. Tampaklah sosok ibu yang memiliki banyak kemampuan dalam menjalani pekerjaan. Kerja keras ibu sebagai upaya memperoleh pendapatan dapat dijadikan panutan dan sumber pengajaran terkait arti mandiri pada anak.

Citra Ibu sebagai Ibu Tiri. Dalam banyak cerita, ibu tiri digambarkan sebagai sosok yang jahat, menakutkan, dan bertindak kejam. Stigma ini sudah tertanam pada pemikiran masyarakat umum dan telah ditularkan kepada anak-anak mereka. Anggapan buruk tersebut sering diungkapkan dalam berbagai tontonan di televisi dan buku cerita anak. Pengarang menuangkan ide tersebut kedalam karyanya sebagai upaya untuk menarik perhatian pembaca, terutama anak-anak. Namun, tidak semua ibu tiri memiliki watak seperti anggapan umum tersebut. Ada juga cerita yang menampilkan citra ibu tiri yang baik dan sayang kepada anak-anak sambungnya. 

Sejatinya, seorang ibu akan menyayangi anak-anak yang telah dirawat dan dibesarkan sejak kecil, meskipun itu bukan anak kandung yang keluar dari rahimnya sendiri. Rasa keibuan yang melekat pada wanita dengan sendirinya akan timbul ketika ia sudah masuk dalam ranah itu. Dimata anak-anak, peran ibu tiri bisa saja selalu salah, tetapi melalui kebaikan dan kasih sayangnya, perspektif tersebut dapat diubah.

Citra ibu Rela Berkorban. Kebanyakan ibu berpandangan bahwa anak adalah bagian dari hidupnya dan tidak akan terpisahkan. Segala kebutuhan dan keinginan anak akan dituruti. Tidak jarang ibu rela mengorbankan semua yang dimiliki demi anaknya. Pernah mendengar kisah percakapan ibu dan anak, dimana di meja makan mereka hanya tersaji satu buah telur dadar yang ibunya relakan hanya untuk anaknya saja. Lalu bagaimana jika ada ibu lain yang berpikir kenapa tidak lauk tersebut dibagi dua untuk ibu dan anak itu. Bukankah jika suatu hari nanti ibu sakit atau meninggal karena kelaparan jauh lebih menyakitkan bagi seorang anak? 

Kalau menuruti standar pencitraan publik yang baik, sempurna, cantik, lembut dan lain sebagainya dari diri seorang wanita rasanya akan terasa sungguh melelahkan. Saya pribadi menaruh standar pada standar kebahagiaan. Jika saya bisa dan mampu mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga maka akan dengan tepat, sigap dan baik saya lakukan. Tetapi ketika sekiranya sepertinya saya memaksakan diri yang saya ketahui akan berujung saya menjadi tidak bahagia maka saya akan mendelegasikan pekerjaan yang tidak saya sanggupi. Bukankah ibu adalah jantung rumah. Selama jantung itu tetap berdetak dengan ritme yang baik, maka akan menyalakan api kebahagiaan bagi seluruh penghuni rumah. Insya Allah.

 

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua