Bayi Tanpa Nama Itu Seorang Pahlawan.

Bayi Tanpa Nama Itu Seorang Pahlawan. 

Saya rasa tidak ada satu ibu yang sanggup dipisahkan dari anak-anaknya.

Saat itu anak pertama dan kedua saya belum genap satu tahun. Saya sudah bertekad untuk menjadi ibu rumah tangga saja, siapa juga yang sanggup berpisah dari dua malaikat tampan yang sehat dan mempesona seperti anak pertama dan kedua yang Allah titipkan itu? Masya Allah.

Ternyata saya tidak termasuk ibu yang dilimpahkan asupan ASI yang melimpah, sebelum menyalahkan saya sudah lebih dahulu konsultasi laktasi, hypnoterapi laktasi sampai segala minuman entah apa namanya dari yang getir sampai yang pahit saya akan menghabiskannya demi memenuhi kebutuhan ASi dua bayi lelaki yang luar biasa ini. 

Keadaan dan tuntutan dari seseorang membuat saya akhirnya memutuskan ingin kembali bekerja untuk bisa membeli susu formula bayi kembar kala itu. Alhamdulillah prosesnya mudah. Namun, sampai pada sesi tes kesehatan, hasilnya mengejutkan. Saya sehat, dan saya positif hamil.

Perusahaan mana yang berani ambil resiko menerima pegawai yang tengah mengandung. Posisi saya serba salah. Perusahaan itu mengatakan menginginkan saya menjadi bagian perusahaan mereka, mencari titik tengah kalau saya memegang cabang di luar pulau, tepatnya Sulawesi Utara, kota Manado. Disana katanya saya akan tinggal di rumah yang disewa perusahaan, jadi dengan kata lain walaupun saya cuti melahirkan tetap berada di lingkungan perusahaan, dan satu lagi jauh dari kantor pusat. Menggiurkan rasanya. 

Saya manusia biasa dengan hitungan manusia. Jika saya menerima tawaran tersebut, saya bukan saja bisa membeli susu formula dua bayi, bahkan kelahiran anak yang sedang dikandung juga terhitung terjamin. Saya berada di dua pilihan. 

Ini bukan pilihan yang biasa, ini pilihan sulit. Maka tidak bisa saya ambil keputusan ini sendiri. Namun, masalah terbesar adalah menyampaikan bahwa diri ini kembali hamil. Ketakutan saya terbesar saat itu.

Kakak dan orang tua saya tentu menyambut bahagia, terucap celotehan mendoakan agar kembali diamanahkan anak kembar tetapi menambahkan doa dengan embel-embel semoga kembar cewek ya, omaygot! Tetapi tanggapan itu cukup menenangkan.

Lain dengan pihak suami, seperti sudah diperkirakan, saya akan ada di posisi paling bersalah. Dikatakan bahwa saya adalah perempuan yang tidak bisa menjaga. Perempuan yang merepotkan. Bahkan masih terngiang kata-kata kurang lebih menggambarkan bahwa saya adalah perempuan penggoda anaknya, karena saya, dan semua salah saya. Bahkan saking kelunya lidah ini tidak sanggup mengatakan bahwa saya mendapat tawaran bekerja. Diam dan diam. Sampai kalimat pamungkas pembunuh mental ini adalah dirinya berkata akan 'mengambil' anak kembar saya, dan saya diminta keluar dari rumahnya, dengan kata lain saya dan suami diminta kembali pulang kerumah kami sendiri jika anak ketiga ini lahir.

Hal ini tentu saja menyakitkan tapi tidak mematikan langkah saya, maka saya harus menyelamatkan yang 'tersisa'. Saat itu, saya dan suami memang masih terbantu olehnya. Tetapi berkat kejadian ini, saya batalkan tawaran bekerja, saya giat senam ibu hamil dan benar-benar menjaga kehamilan ini, dan juga mencari referensi tentang ibu melahirkan normal pasca secar. Entah saya gila atau cukup nekat. Jika sesuai perhitungan usia kehamilan, maka yang akan terjadi adalah empat belas bulan pasca secar saya harus bisa melahirkan normal. Oh iya, tidak lupa bonding pada anak kembar tidak lepas saya gencarkan, perut membesar tidak menghalangi untuk tetap memandikan, menyuapi, serta menidurkan mereka sendiri. Walau berujung perang dingin dengan seseorang.

Jujur, dahulu saat usia masih belasan saya pernah ingin mengakhiri hidup, namun berujung hanya menyakiti diri saja dengan coretan menggunakan silet pada tubuh. Bahkan saya pernah hampir menyerah pada suami, karena ada pihak yang terlalu ikut campur. Namun, entah kekuatan bayi yang saya kandung atau bagaimana. Saya bertekad ingin 'menyelamatkan' apa yang tersisa dari hidup saya.

Bayi yang ada dalam rahim saya adalah pahlawan sejati. Bayi ini yang datang ke dalam mimpi sebelum dilahirkan. Sebuah mimpi yang indah dengan cahaya terang yang menenangkan. Bayi yang belum diberi nama ini adalah alasan saya untuk hidup lebih lama lagi. Dia adalah pahlawan hidupku.

Entah apa suami merasakan atau tidak, setiap libur saya meminta dirinya pulang kerumah. Tentu saja membawa dua anak kembar kami. Pelan-pelan kami merapihkan rumah, walau hanya semalam kami menginap. Tanpa menyampaikan maksud dan rencana secara lisan pada siapa pun, saya memendam sendiri dalam hati sambil berkata "Jika semua masih milikku, maka akan kembali padaku. Jika Allah menuliskan takdir bagi saya amanah satu, dua atau lima anak sekalipun jika itu milikku maka aku bisa memegang amanah itu."

Suami seakan mengiyakan saja permintaan saya untuk setiap libur pulang, dan hal tersebut berefek pada hubungan kami yang semakin membaik dengan seiring komunikasi yang membaik juga. Walaupun tiap kali pulang harus menerima berbagai kata tidak menyenangkan, bahkan momen ulang tahun saya saat itu dikatakan buat apa beli kue, mending buat tambahan lahiran.

Hari itu tiba. Hari kelahiran bayi ketiga si pahlawan sejati yang selama sembilan bulan ada didalam rahim wanita rapuh ini. Kalimat "la hawwla wala quwwata ilabillah" menjadi kalimat pamungkas seiring hentakan yang berakhir keluarnya seluruh tubuh bayi yang saya sebut 'pahlawan' yang berjuang untuk bisa lahir secara normal. Iya, Vaginal Birth After C-section (VBAC) berhasil saya lalui dengan jarak lahir yang berdekatan. 

Ini pula alasan saya mengikrarkan diri bahwa ketiga anak saya, khususnya anak ketiga adalah pahlawan buat saya yang kehilangan harapan saat itu. Namun, kehadirannya adalah alasan saya harus tetap ada untuk berjuang tetap hidup lebih lama. Jika Zayn saja paham akan afirmasi yang saya berikan selama hamil untuk berjuang lahir secara normal maka saya juga harus berjuang untuk tetap ada untuk anak-anak. Saya harus sehat dan bahagia bagi mereka.

Ketiga anak saya adalah pahlawan yang dari mata mereka terlihat bukan saja kepolosan tetapi seperti ada rasa tidak normal yang mengatakan tidak ada alasan untuk bersedih lagi.

Terakhir dan untuk mempersingkat cerita, karena saya melahirkan secara normal. Maka, rencana saya untuk mengasuh tiga anak sendiri akhirnya terwujud. Saya, suami dan tiga anak kembali pulang kerumah. Kami berkumpul. Meski lelah ditanggung sendiri, namun jauh lebih membahagiakan. 

Terima kasih para pahlawan kecil yang menjadi alasan untukku untuk bisa hidup lebih lama dan sehat juga bahagia mendampingi kalian.

Comments

Popular posts from this blog

Materi Praktik Cerpen

Resensi Buku Muni Luka Yang Tak Tersayat

Masa Tua